KEBERADAAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA



Hukum diera reformasi  yang berlaku disuatu Negara sangat berpariasi dan bermacam-macam, baik itu dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Sumber hukum suatu Negara juga bermacam-macam. Terbentuknya hukum disuatu Negara juga mendafat berbagai pengaruh. Seiring dengan berjalannya waktu, tentunya keadaan atau kehadiran suatu Negara juga perlunya pengakuan dari Negara lain. Agar suatu Negara itu maju dan tetap dipandang oleh Negara lain, maka suatu Negara sudah barang tentu melakukan hubungan dengan Negara lain.
Dengan adanya hubungan dengan Negara lain maka segala permasalahan maupun apapun itu yang dialami oleh suatu Negara, dapat teratasi. Supaya adanya hubungan yang harmonis dan tidak terjadinya konflik serta mempermudah penyelesaiannya jika pada suatu saat terjadi konflik, maka negra-negara melakukan perjanjian Internasional.
Di Indonesia, Kedudukan hukum internasional dalam tata hukum secara umum didasarkan atas anggapan bahwa hukum internasional sebagai suatu jenis atau bidang hukum merupakan bagian dari hukum pada umumnya. Anggapan ini didasarkan pada kenyataan bahwa hukum internasional sebagai suatu prangkat ketentuan dan asas yang efektif yang benar-benar hidup dalam kenyataan sehingga mempunyai hubungan yang efektif dengan ketentuan dan asas pada bidang hukum lainnya, bidang hukum lainnya dalam hal ini yang paling penting adalah hukum nasional.
Hal ini dapat dilihat dari interaksi masyarakat internasional dimana peran Negara sangat penting dan mendominasi hubungan internasional, karena peran dari hukum nasinal Negara-negara dalam memberikan pengaruh dalam kancah hubungan iternasional mengangkat pentingya isu bagaimana hubungan hukum internasional dan hukum nasional dari sudut pandang praktis.
Dalam memahami berlakunya hukum internasional terdapat dua teori, yaitu teori voluntarisme, yang mendasarkan berlakunya hukum internasional berdasarkan kemauan Negara, dan teori objektivis, yang menganggap berlakunya hukum internasional terlepas dari kemauan Negara.
Perbedaan pandangan atas dua teori ini membawa akibat yang berbeda dalam memahami hubungan atara hukum internasional dengan hukum nasional. Pandangan teori volunterisme memandang hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum yang berbeda, saling berdampingan dan terpisah. Berbeda dengan pandangan dengan teori objektivis, yang menganggap hukum nasional dan hukum internasional sebagai dua perangkat hukum dalam satu kesatuan perangkat hukum.
Hukum, doktrin dan praktek Hukum, tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum berkembang dan acapkali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional di dalam kerangka sistem hukum nasional.  Ketidakjelasan ini merupakan bagian dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam dunia praktisi dalam menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum RI.
Secara teoritis, persoalan ini berakar pada ketidakjelasan tentang aliran atau doktrin yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Pada negara-negara maju, aliran ini dicerminkan dalam constitutional provisions atau UU nasional yang secara tegas memuat kaidah tentang apa status hukum internasional dalam hukum nasionalnya. Sistem hukum Indonesia sayangnya masih belum memberi perhatian pada permasalahan ini sehingga jangankan suatu constitutional legal provisions, wacana publik ke arah pembentukan politik hukum tentang persoalan ini juga belum dimulai.
Dalam teori, terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu Aliran Dualisme yang menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional. Dalam hal ini tidak terdapat hubungan hirarki antara kedua sistem hukum ini. Selanjutnya adalah Aliran Monisme yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum. Hukum internasional berlaku dalam ruang lingkup hukum nasional tanpa harus melalui proses transformasi. Kalaupun ada legislasi nasional yang mengatur masalah yang sama maka legislasi dimaksud hanya merupakan implementasi dari kaidah hukum internasional dimaksud. Dalam hal ini, hukum internasional yang berlaku dalam sistem hukum nasional akan tetap pada karakternya sebagai hukum internasional. Selain kedua aliran tersebut diatas terdapat pula negara yang menempatkan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional.
Sistem hukum indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Namun di dalam literatur Indonesia, Prof. Mochtar Kusumaatmadja (Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, 1976) secara jelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar di kemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
Constitutional Provisions atau ketentuan Indonesia tentang masalah ini juga masih sangat minim dan belum mengindikasikan apa pun tentang politik hukum yang hendak dianut. Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR serta menetapkan kriteria umum tentang perjanjian lainnya yang perlu mendapat persetujuan DPR.  Aturan yang mungkin agak relevan tentang masalah ini adalah Pasal 22 a Algemene Bepalingen (AB) yang menyatakan bahwa kekuasaan hakim dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang ditetapkan oleh hukum internasional. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang diharapkan serta seyogianya memberi warna tentang politik hukum tentang masalah ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional.
Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia yang cenderung semakin tidak mengenal batas negara ini, boleh jadi kesepakatan antar Negara-negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang semakin penting. Persoalannya, karena semakin banyak masalah transnasional yang memerlukan pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin dilakukan dengan instrumen perjanjian internasional. Hal itu disebabkan perjanjian internasional sudah berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks.[1]
Adalah suatu kelaziman bila negara-negara berdaulat menghendaki suatu persoalan diselesaikan melalui perangkat norma yang disusun atas dasar kesepakatan bersama dengan tujuan dan akibat-akibat hukum tertentu, maka secara formal lahir dalam bentuk perjanjian internasional. Kepustakaan hukum memandu pembacanya untuk memahami pengertian perjanjian internasional sebagai berikut: "... perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu...".5 Dalam konteks seperti yang dimaksud di atas, perjanjian internasional dibedakan ke dalam dua golongan, yaitu: "law making treaties" dan "treaty contracts".[2]
"Law making treaties", adalah perjanjian internasional yang mengandung kaidah-kaidah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota masyarakat bangsa-bangsa; sehingga dengan demikian dikategorikan sebagai perjanjian-perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional.[3] Sedangkan perjanjian internasional yang digolongkan sebagai "treaty contracts" mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang mengadakannya saja, sehingga hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian. Oleh sebab itu perjanjian-perjanjian internasional yang tergolong treaty contracts tidak secara langsung menjadi sumber hukum internasional.
Kecenderungan semakin pentingnya perjanjian internasional dalam mengatur berbagai persoalan, ternyata tidak hanya berlangsung dalam bidang hukum publik internasional, melainkan juga berlangsung dalam bidang hukum perdata internasional (HPI). Ini ditunjukan umpamanya oleh upaya yang dilakukan sejumlah negara sejak akhir abad ke 19 melalui penyelenggaraan beberapa konperensi dalam bidang HPI yang diselenggarakan di Den Haag, yang antara lain bertujuan untuk mempersiapkan unifikasi kaidah-kaidah HPI.[4]
Seperti diketahui, setiap negara merdeka dan berdaulat memiliki system HPI-nya sendiri-sendiri, sehingga norma HPI setiap negara itu tidak sama. Untuk mengatasi kesulitan yang timbul dalam hal terjadi persoalan yang melibatkan dua negara atau lebih, negara-negara mengadakan upaya kerjasama internasional dengan jalan mempersiapkan konvensi-konvensi yang bertujuan terciptanya unifikasi di dalam bidang hukum, khususnya hukum perdata.
Akan tetapi upaya yang dilakukan itu bukan bermaksud untuk melakukan penyeragaman seluruh sistem hukum internasional dari negara-negara peserta konperensi, melainkan hanya berusaha melakukan penyeragaman atas kaidah-kaidah HPI. Sebagai contoh misalkan ketika warga Negara Indonesia melakukan perdagangan dengan Negara lain melalui lintas Negara, ketika ada permasalahan yang timbul, seperti misalkan barang yang diperjual belikan menurut Negara Indonesia itu dilarang, tapi oleh Negara lain itu sah-sah saja, maka timbullah permasalahan antara keduanya itu, yang mengharuskan Negara harus campur tangan dalam penyelesaiannya. Dengan demikian diharapkan untuk masalah-masalah hukum perdata tertentu akan dapat dicapai kesatuan dalam penyelesaian persoalan oleh badan-badan peradilan masing-masing negara peserta.[5]
Dalam praktek negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan negara mengubah hukum nasionalnya bukanlah sesuatu yang tidak lazim. Asumsi dasar dari perspektif hukum internasional justru menekankan bahwa maksud negara untuk membuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional. Sebagai contoh ketika juru runding Indonesia dalam menegosiasikan UNCLOS 1982 justru menabrak UU Perpu 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam hal ini perjanjian dapat saja dirundingkan dengan maksud untuk kemudian mengubah hukum nasional.
Namun pada era reformasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan hukum nasional (pursuant to the respective laws and regulations) sangat ditekankan oleh Indenesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakati tetap dalam koridor hukum nasional. Prinsip ini dikedepankan karena para juru runding menghindari adanya klaim bahwa telah terjadi pengabaian terhadap hukum nasional. Nuansa ini terlihat jelas dalam perundingan Economic Partnership Agreement RI-Japan 2007. Pada perundingan ini, Delri secara ketat berpedoman pada peraturan UU yang berlaku dan untuk itu Perjanjian ini harus mengikuti hukum nasional Indonesia bukan sebaliknya. Bahkan, perjanjian ini baru dapat dituntaskan serta ditandatangani setelah dikeluarkannya UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang baru.
Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya bagi sistem hukum Indonesia untuk mulai mengembangkan aturan tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang sekaligus dapat menjawab tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional.



DAFTAR BACAAN


1.      KOMAR, Mieke, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bahan Pelajaran Hukum Perjanjian Internasional, FH Unpad, Bandung, 1985.
2.      KUSUMAATMADJA, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta, 1978.
3.      KUSUMOHAMIDJOJO, Budiono, Suatu Studi terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Bandung: Binacipta, 1986.
4.      PARTHIANA, Iwayan, hukum perjanjian internasional. Bandung: Mandar Maju, 2002.
5.      TSANI, Mohd. Burhan, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990.


[1] Lihat Mochd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty,
1990, halaman 8-9.
[2] Baik law making treaty maupun treaty contracts kedua-duanya adalah suatu contract, yaitu
suatu perjanjian atau persetujuan antara pihak-pihak yang mengadakannya dan yang
mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban bagi peserta-pesertanya. Oleh karena itu
bukan saja law making treaty, namun treaty contracts juga secara tidak langsung, melalui
proses hukum kebiasaan dapat juga merupakan law making. Lihat Mochtar Kusumaatmadja,
Ibid., halaman 114 dan 115; Bandingkan J.G. Starke, Introduction to International Law.
(Ninth edition), London: Butterworths, 1984, halaman 40-44.
[3] Mieke Komar, et al. Suatu Catatan tentang Praktek Indonesia dalam hubungan dengan
Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Banda Aceh, Simposium Pola Umum
Perencanaan Hukum dan Perundang-undangan, 1976, halaman 3.
[4] Semula Konperensi Hukum Perdata Internasional (HPI) di Den Haag itu merupakan konperensi
diplomatik antara negara-negara Eropa (negara-negara Eropa kontinental) dengan tujuan
menjajagi kemungkinan mengadakan unifikasi kaidah-kaidah HPI. Akan tetapi kemudian
pesertanya diperluas dengan masuknya Jepang (dari Asia tahun 1904). Kemudian seusai Perang
Dunia ke II keanggotaan konperensi tersebut makin diperluas dengan masuknya Inggris (1951),
Turki (1956), Israel dan RPA (1960), USA (1964), Canada (1968), dan kemudian diikuti pula
oleh negara-negara dari kawasan Amerika Latin. Lihat Sudargo Gautama, Capita Selecta
Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1983, halaman 6.
[5] S. Gautama, Capita... Op. cit., halaman 5.

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "KEBERADAAN HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA"

  1. wow. artikel ini sangat membantu pengetahuan saya. terimakasih .. semoga artikel ini dapat dikenal dunia, karena sangat bermanfaat sekali. terimakasih sekali lagi.

    ReplyDelete

Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^