STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI


Semakin bertambahnya penduduk dunia yang semakin komplek, maka sudah selayaknya untuk memenuhi kebutuhannya itu, maka setiap manusia memerlukan yang namanya hubungan dengan manusia lainnya, hal ini dikarenakan secara teori manusia adalah zone politikon, manusia selalu memerlukan manusia lainnya untuk mempertahankan hidupnya, memberikan kemajuan pada dirinya dan memudahkan ia untuk mencapai segala apa yang menjadi keinginan dan cita-cita, dan sebagainya.
Adalah suatu yang wajar, ketika individu, atau suatu kelompok, organisasi-organisasi maupun Negara-negara dalam mempertahankan eksistensinya dan untuk tujuan kemajuan dan kemakmuran warga masyarakat yang ada pada Negara tersebut, maka perlu adanya hubungan dengan Negara lainnya.
Akselerasi (percepatan atau moderenisasi disegala bidang) dalam berbagai aspek kehidupan telah mengubah "kehidupan yang berjarak" menjadi "kehidupan yang bersatu". Implikasi dari kehidupan yang bersatu inilah yang sekarang disebut sebagai globalisasi (Satjipto Rahardjo, “Pembangunan Hukum di Indonesia dalam Konteks Situasi Global”; dalam Kajian Masalah Hukum dan Pembangunan PERSPEKTIF; Volume 2 No. 2 Tahun 1997; Edisi Juli 1997; halaman 2). Sekalian bangsa di sudut manapun di dunia ini, sekarang sudah terhubung, terangkat, terkooptasi kedalam satu pola kehidupan. Satjipto Rahardjo, (Ibid.; halaman 1). Seperti yang diungkapkan oleh Wallerstein, Ia menyatakan bahwa globalisasi adalah proses pembentukan system kapitalis dunia yang telah membawa bangsa-bangsa di dunia terseret kedalam pembagian kerja ekonomi kapitalis. Terbentuknya institusi semacam WTO (World Trade Organization), forum kerjasama ekonomi semacam APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), Eropa bersatu dalam EEC (European Economic Council), dan lain-lain adalah beberapa contoh kecenderungan menyatunya pola kehidupan dalam tatanan ekonomi kapitalis.
Tidak dapat dinafikan betapa batas-batas teritorial suatu negara nasional kini tidak lagi menjadi penghalang bagi berbagai aktivitas ekonomi yang semakin pesat. Demikian pula lahan beroperasinya pekerjaan hukum yang semakin mendunia. Fenomena di atas, nyata sekali dengan berkembangnya penggunaan istilah yang mengindikasikan dilampauinya batas-batas tradisional dan territorial nasional suatu negara, Dalam perkembangan kehidupan bersama manusia yang cenderung semakin tidak mengenal batas negara ini, boleh jadi kesepakatan antar Negara-negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional merupakan sumber hukum yang semakin penting.
Persoalannya, karena semakin banyak masalah transnasional yang memerlukan pengaturan yang jangkauannya hanya mungkin dilakukan dengan instrument perjanjian internasional. Hal itu disebabkan perjanjian internasional sudah berhasil menciptakan norma-norma hukum baru yang diperlukan untuk mengatur hubungan antar negara dan antar masyarakat negara-negara yang volumenya semakin besar, intensitasnya semakin kuat, dan materinya semakin kompleks (Mochd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional. Yogyakarta: Liberty, 1990, halaman 8-9).
Nah, ketika kita melihat hal semacam itu, maka dapat dikatakana bahwa Perjanjian internasional memainkan peranan penting  dalam mengatur hidup dan hubungan antar Negara dalam masyarakat internasional. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan pada era global ini, tidak ada satu negarapun yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak diatur dalam perjanjian internasional (Baca pula Boer Mauna ,2000:82). Hal tersebut didorong oleh perkembangan pergaulan internasional , baik yang bersifat bilateral maupun global. Perkembangan tersebut antara lain disebabkan oleh karena semakin meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi yang berdampak pada percepatan arus globalisasi masyarakat dunia .
Perbuatan perjanjian internasional (treaty) yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik secara khusus maupun umum (universal) merupakan salah satu sarana yang efektif dan efisien dalam mengatasi persoalan yang timbul sekaligus guna menjamin kesejahteraan dan kedamaian untuk manusia  (www. dfa- department luar negeri go.id) . Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian – perjanjian internasional hanya diatur dalam hukum kebiasaan . Selanjutnya diatur dalam  Vienna Convention on the Law of Treattes yang ditandatangani 23 Mei 1969 , dan mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980. Konvensi ini telah menjadi hukum internasional positif (Boer Mauna,2000:83).
Dalam keadaan ini yang dimaksud dengan Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik (Undang-undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional). Sedangkan menurut Prof Dr. Mochtar Kusumaatmaja mengatakan bahwa Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara negara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Pengertian lainnya adalah Dalam pasal 2 konvensi Wina 1969 dinyatakan , “Treaty means an international agreement concluded between states in written form governed by internasional law, whether embodied  in a single instrument or two or more related instruments and whatever is particular designation “. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa treaty  merupakan persetujuan internasional yang diadakan oleh Negara-negara dalam bentuk tertulis dan seterusnya ,sehingga perjanjian internasional dalam bentuk lisan tidak dapat dimasukkan kedalam jenis treaty, walaupun perjanjian secara lisan itu melahirkan kewajiban internasional.
Dalam hukum internasional perjanjian internasional yang dibuat dengan  wajar menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta (para pihak), dan kekuatan mengikat perjanjian internasional terletak dalam adagium Pacta Sunt Servanda, yang mewajibkan negara-negara untuk melaksanakan dengan itikat baik  kewajiban-kewajibannya(Lihat F. Isjwara , 1972:201). Perjanjian internasioanal dimuka dapat terlihat bahwa perjanjian internasional (traktat) selalu bertujuan meletakkan kewajiban-kewajiban yang mengikat terhadap negara- negara peserta . Pada umumnya perjanjian  internasional  akan segera  mengikat bagi negara – negara pesertanya apabila telah melalui proses ratifikasi.
            Ratifikasi perjanjian internasional merupakan hal menarik dan sangat penting dibahas karena berkaitan erat dengan kekuatan mengikat suatu perjanjian internasional . Ratifikasi tersebut tidak hanya menjadi persoalan hukum internasional , tetepi juga merupakan persoalan hukum nasional ( Hukum Tata Negara). Hukum internasional hanya menentukan pentingnya suatu perjanjian internasional diratifikasi, sedangkan tata cara pemberian ratifikasi perjanjian diatur oleh hukum nasional masing- masing Negara.
Didalam Perjanjian Internasional secara teoritis kalau kita bertanya bagai mana dengan Indonesia, mengenai aliran atau doktrin yang mana yang dianut oleh hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional, apakah aliran hukum dualisme yang menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional atau aliran hukum monisme yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum, karena Secara teoritis, persoalan yang dihadapi oleh Indonesia sekarang ini  berakar pada ketidak jelasan tentang aliran atau doktrin yang dianutnya.
Yang menjadi persoalannya adalah Hukum, doktrin dan praktek Indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional RI belum berkembang dan seringkali menimbulkan berbagai persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional di dalam kerangka sistem hukum nasional.  Ketidakjelasan ini merupakan bagian dari ketiadaan hukum maupun doktrin pada sistem hukum Indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional. Berbagai kebingungan mencuat dalam dunia praktisi dalam menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam sistem hukum RI.
Sistem hukum indonesia sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme atau kombinasi keduanya. Namun di dalam literatur Indonesia, Prof. Mochtar Kusumaatmadja (Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, 1976) secara jelas memotret bahwa Indonesia mengarah pada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar di kemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
Ketentuan Indonesia tentang masalah ini juga masih sangat minim dan belum mengindikasikan apa pun tentang politik hukum yang hendak dianut. Pasal 11 UUD 1945 hanya menyebut bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR serta menetapkan kriteria umum tentang perjanjian lainnya yang perlu mendapat persetujuan DPR.  Aturan yang mungkin agak relevan tentang masalah ini adalah Pasal 22 a Algemene Bepalingen (AB) yang menyatakan bahwa kekuasaan hakim dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang ditetapkan oleh hukum internasional.
Damos Dumoli Agusman mengungkapkan bahwa UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang diharapkan serta seyogianya memberi warna tentang politik hukum tentang masalah ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Menurut pengamatannya sebagai salah satu anggota yang pernah turut dalam proses awal pembahasan RUU ini, ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mewarnai proses penyusunan UU ini, yaitu:
  1. Para perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang saat itu melalui pandangan Prof. Mochtar Kusumaatmadja yang mengindikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monisme primat hukum internasional. Pandangan ini juga mewarnai pandangan Departemen Luar Negeri RI sebagai lembaga pemerintah yang membina standarisasi tentang pembuatan perjanjian internasional. Akibatnya, isu tentang hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional tidak menjadi agenda krusial dalam pembahasan UU ini dan dapat diasumsikan bahwa teori monisme merupakan pedoman dasar dalam penyusunannya. Hal ini tercermin dari Pasal 13 UU ini yang menginstruksikan bahwa setiap UU atau Perpres yang mengesahkan perjanjian internasional ditempatkan dalam lembaran negara. Pada penjelasannya diartikan bahwa dengan penempatannya dalam lembara negara maka perjanjian tersebut mengikat seluruh warga negara RI. Suatu konstruksi yang sangat kental dengan warna monisme.
  2. UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktek negara RI tentang pembuatan perjanjian internasional yang sebelumnya dilandaskan pada Surat Presiden RI No. 1826/HK/1960 kepada DPR tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan negara lain. Praktek Indonesia sebelum UU ini nyaris tidak mengalami konflik yang bersumber dari hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional. Hal ini mungkin disebabkan oleh perhatian publik baik akademisi maupun praktisi belum melirik permasalahan ini. Selain itu, ketertiban orde baru serta pendekatan pragmatis yang kuat pada waktu itu belum membuka ruang untuk adanya wacana tentang implikasi benturan kedua sistem hukum ini.
  3. Dunia akademis pada waktu itu tidak atau belum menyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan hukum internasional dan nasional. Sekalipun masalah ini merupakan bagian khusus dari mata kuliah hukum internasional namun belum terdapat penelitian yang cukup memadai tentang persoalan ini dalam kaitannya dengan sistem hukum Indonesia. Di lain pihak, status hukum internasional dalam hukum nasional belum merupakan pokok bahasan dalam kurikulum mata kuliah hukum tata negara Indonesia. Dapat dipastikan bahwa hukum internasional dan hukum tata negara sibuk berkutat dengan domainnya sendiri sehingga melupakan bahwa persoalan status hukum internasional dalam hukum nasional merupakan wilayah persentuhan antara kedua cabang ini. Dalam hal ini belum terdapat suatu displin yang kolaboratif dari hukum internasional dan hukum tata negara tentang masalah ini.
  4. Jurisprudensi Indonesia belum memberi kontribusi untuk teridentifikasinya persoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlu mendapat perhatian perumus UU ini.
Inkonsistensi dalam pengaplikasian perjanjian dan khususnya dewasa ini menjadi berkembang akibat ketidakjelasan tentang status perjanjian dalam hukum nasional. Derasnya arus globalisasi mengakibatkan persentuhan antara hukum internasional dan nasional semakin intensif dan bahkan acapkali melahirkan benturan. Akibatnya, semua negara termasuk Indonesia tidak lagi dapat menghindari benturan ini dan cepat atau lambat harus mengatur hubungan kedua sistem ini.
Pada era reformasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan hukum nasional (pursuant to the respective laws and regulations) sangat ditekankan oleh Indenesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakati tetap dalam koridor hukum nasional. Prinsip ini dikedepankan karena para juru runding menghindari adanya klaim bahwa telah terjadi pengabaian terhadap hukum nasional. Nuansa ini terlihat jelas dalam perundingan Economic Partnership Agreement RI-Japan 2007. Pada perundingan ini, Delri secara ketat berpedoman pada peraturan UU yang berlaku dan untuk itu Perjanjian ini harus mengikuti hukum nasional Indonesia bukan sebaliknya. Bahkan, perjanjian ini baru dapat dituntaskan serta ditandatangani setelah dikeluarkannya UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal yang baru.
Prinsip  untuk semata-mata mengedepankan hukum nasional dalam perundingan perjanjian internasional sebenarnya tidak memiliki justifikasi hukum. Dalam hukum Indonesia tidak terdapat aturan yang melarang pembuatan perjanjian yang menabrak hukum nasional. Pasal 4 (2) UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional hanya menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Terjadinya pembuatan perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional justru diberi ruang oleh UU no. 24/2000 antara lain melalui pasal 10 (e) tentang perjanjian yang berkaitan dengan pembentukan kaidah hukum baru. Pembentukan kaidah hukum baru dapat berupa kaidah baru dalam rangka mengisi kekosongan hukum atau kaidah baru yang menggantikan kaidah yang lama (yang berarti bertentangan dengan kaidah yang lama). Contoh perjanjian ini adalah UNCLOS 1982. Praktek perumusan naskah akademis dan naskah penjelasan untuk UU dan Perpres yang mengesahkan suatu perjanjian juga mengindikasikan kemungkinan benturan antara perjanjian dengan hukum nasional. Dalam dokumen ini terdapat suatu bab khusus yang berjudul “Harmonisasi dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada” yang isinya adalah mengidentifikasi hukum nasional yang bertentangan dengan perjanjian untuk dilakukan penyesuaian.
Keengganan para juru runding untuk menabrak hukum nasional justru disebabkan oleh ketidakjelasan aturan tentang masalah ini yang berakar pada ketidakpastian hukum tentang hubungan perjanjian internasional dengan hukum nasional. Sekalipun tidak ada larangan hukum nasional untuk menabrak hukum nasonal dalam pembuatan perjanjian, para juru runding tetap dibayangi ketidakpastian akibat ketiadaan aturan yang secara jelas mengijinkan mereka untuk melakukan itu.
Inkonsistensi juga terjadi pada pola pikir Pemerintah dalam meratifikasi suatu perjanjian. Pada era orde baru, meratifikasi suatu perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional bukan merupakan kendala hukum. Namun pada era reformasi terdapat kecenderungan untuk menyesuaikan dulu hukum nasional sebelum meratifikasi perjanjian internasional. Hal ini misalnya terjadi pada Perjanjian Kawasan Ekonomi Khusus Batan, Karimun, Bintan RI-Singapura 2006 yang harus menunggu dikeluarkannya Perpu 1/2007 tentang Kawasan Khusus sebelum dilakukan proses ratifikasi.
Sebaliknya pertanyaan mendasar lainnya adalah dapatkah DPR dan Presiden mengesahkan suatu perjanjian yang bertentangan dengan hukum nasional? Praktek Indonesia justru membuktikan bahwa banyak perjanjian internasional yang tidak selaras dengan hukum nasional diratifikasi oleh DPR/Presiden. Namun jika di era reformasi ini DPR diperhadapkan dengan suatu perjanjian yang jelas menabrak hukum nasional, dapatkah argumentasi “terjadinya pelanggaran hukum nasional” dijadikan sebagai dasar untuk menolak ratifkasi perjanjian tersebut? Pertanyaan semacam ini akan tetap menjadi kontroversi sepanjang hukum Indonesia tidak menyediakan jawaban yang tegas tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional.
Bagaimana produk legislasi Indonesia mengidentifikasi serta menempatkan hukum internasional juga diwarnai oleh kegamangan. UU No. 39/1999 tentang HAM pasal 7 ayat (2) secara tegas menyebut bahwa “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional”. Ketentuan ini jelas dipengaruhi oleh warna dualisme karena secara tegas melalui pasal ini ketentuan hukum internasional ditransformasikan menjadi hukum nasional.  Dalam kaitan ini hakim dapat merujuk langsung pada ketentuan internasional HAM dalam karakternya sebagai hukum nasional. Namun demikian UU ini tidak jelas menentukan kapan negara RI telah menerima suatu ketentuan hukum internasional, apakah melalui mekanisme pengesahan (ratifikasi) atau mekanisme lain seperti pernyataan unilateral atau the absence of its persistent objections?. Jika penerimaan (transformasi dalam konteks dualisme) dilakukan melelaui pengesahan maka UU ini sudah memberi kontribusi dalam pembangunan sistem dualisme dalam kaitannya dengan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Pada era globalisasi dewasa ini, telah berkembang kaidah hukum internasional yang telah berlaku umum dengan atau tanpa persetujuan negara. Kaidah-kaidah yang menyangkut kehidupan manusia seperti terorisme, HAM, dan isu-isu lingkungan tanpa disadari telah mengikat Indonesia dan bahkan, khususnya tentang HAM, telah mengikat para hakim Indonesia sekalipun belum ditransformasikan kedalam hukum nasional. Apa yang menjadi dasar hukum positif sehingga para hakim terikat pada kaidah HAM sangatlah sulit dijawab karena belum ada doktrin, apa lagi legal provision, yang dibangun untuk menjelaskan tentang status hukum internasional dalam hukum nasional. Tantangan ini telah mengharuskan Indonesia untuk mengambil sebuah kebijakan nasional (politik hukum) yang mengatur hubungan kedua sistem hukum ini. Kebijakan tersebut akan menentukan status perjanjian internasional, memberikan arah bagi konsistensi penerapan perjanjian internasional, dan menentukan sejauh mana hukum internasional dapat mempengaruhi sistem hukum nasional. Absennya kebijakan tersebut akan mengakibatkan inkonsistensi yang lebih besar dan menjadi preseden buruk bagi kepastian hukum di tatanan nasional.
Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya bagi sistem hukum Indonesia untuk mulai mengembangkan aturan tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang sekaligus dapat menjawab tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional.

Hukum Perjanjian Internasional sendiri  telah cukup jelas menempatkan kedudukan hukum nasional. Pasal 26 Vienna Convention 1969 on the Law of Treaties mengatur prinsip fundamental hukum perjanjian internasional, Pacta Sunt Servanda yang menyatakan bahwa perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Lebih lanjut negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "STATUS HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM HUKUM NASIONAL RI"

Post a Comment

Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^