Keberhasilan dalam
reformasi sosial yang digalakkan atau di bangkitkannya keinginan untuk melawan
dari penindasan sejak runtuhnya pemerintahan Orde Baru juga tergantung pada
kemampuan kita semua menegakkan transparansi dan akuntabilitas serta good
governance, apakah pada sektor publik maupun dunia usaha. Pada gilirannya,
transparansi, akuntabilitas dan good governance itu sangat ditentukan oleh
perbaikan sistem akuntansi dan sistem hukum nasional. Sebagaimana diketahui, reformasi
yang kita lakukan dewasa ini adalah menyangkut sistem politik, sistem pemerintahan
dan sistem perekonomian.
Sistem politik kita
tengah beralih dari sistem otoriter masa pemerintahan Orde Baru menuju pada
sistem pemerintahan yang demokrasi. Pada gilirannya demokrasi
politik sekaligus menuntut adanya transparansi dan
akuntabilitas keuangan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Sistem pemerintahan yang sentralistis kita rubah menjadi otonomi daerah yang
sangat
luas. Tanpa adanya transparansi dan akuntabilitas, akan terjadi saling curiga
dan cekcok
antar daerah maupun antar suku di negara yang majemuk seperti Indonesia.
1.
Pengertian dan ruang lingkup keuangan Negara
Perumusan keuangan negara menggunakan
beberapa pendekatan, yaitu:
1. Pendekatan
dari sisi obyek;
2. Pendekatan
dari sisi subyek;
3. Pendekatan
dari sisi proses; dan,
4. Pendekatan
dari sisi tujuan.
Dari sisi obyek
Keuangan Negara akan meliputi seluruh hal dan kewajiban negara
yang dapat dinilai dengan uang, di dalamnya termasuk berbagai kebijakan
dan kegiatan yang terselenggara dalam bidang fiskal, moneter dan atau
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan. Selain itu segala sesuatu dapat
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek,
keuangan negara meliputi negara, dan/atau pemerintah pusat,
pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya
dengan keuangan negara. Keuangan Negara dari sisi proses
mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan
pengelolaan obyek di atas mulai dari proses perumusan kebijakan
dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Terakhir,
keuangan negara juga meliputi seluruh kebijakan, kegitan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara,
pendekatan terakhir ini dilihat dari sisi tujuan.
Dengan
pendekatan sebagaimana diuraikan di atas, UU No. 17/2003 merumuskan
sebagai berikut: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Ruang lingkup Keuangan
Negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan dalam Pasal 2
UU No. 17/2003 meliputi:meliputi:
a.
hak negara untuk memungut pajak,
mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
b.
kewajiban negara untuk menyelenggarakan
tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c.
Penerimaan Negara;
d.
Pengeluaran Negara;
e.
Penerimaan Daerah;
f.
Pengeluaran Daerah;
g.
kekayaan negara/kekayaan daerah yang
dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hakhak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan
yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h.
kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh
pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan
umum;
i.
kekayaan pihak lain yang diperoleh
dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
2. Landasan Pengelolaan Keuangan Negara
Landasan pengelolaan
keuangan negara adalah Pasal 23C Undang Undang Dasar 1945
Perubahan Ketiga: “hal-hal lain mengenai keuangan Negara ditetapkan
melalui undang-undang”. Berangkat dari landasan konstitual itulah berbagai
upaya dilakukan untuk dapat menghadirkan Undang-undang Keuangan Negara.
Tercatat 14 (empat belas) tim telah dibentuk dengan tugas untuk menyusun
RUU bidang Keuangan Negara atau RUU tentang Perbendaharaan Negara.
Hingga tahun 2003 yang
lalu–sebelum UU No.17/2003 diundangkanaturan yang berlaku
untuk pengelolaan Keuangan Negara masih menggunakan peraturan
peninggalan pemerintahan kolonial Belanda seperti Indische Comptabiliteitswet
yang
lebih dikenal dengan nama ICW stbl. 1925 No.488 yang ditetapkan
pertama kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku tahun 1867. Selain ICW
ada juga Indische Bedrijvenwet (IBW) stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936
No. 445
dan Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) stbl. 1933 No.381.
Sementara
itu untuk pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan
negara digunakan Insctructie en verdere bapelingen voor Algemeene
Rekenkamer (IAR) stbl. 1933 No.320.
Peraturan-peraturan
seperti ICW, IAR, IBW, dan RAB, sengaja diciptakan dan
dibuat oleh pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa yang menjajah
Indonesia saat itu dengan pendekatan untuk menjaga kepentingan negara
Belanda atas Indonesia. Paradigma negeri jajahan itulah yang sangat kental
mewarnai peraturan-peraturan itu. Ketika diterapkan kepada sebuah negara
yang berdaulat dan merdeka seperti Indonesia saat ini, peraturan peraturan
itu
sudah tidak lagi relevan dan layak dijadikan pedoman pengelolaan keuangan
negara. Merubah seluruh peraturan di atas dengan peraturan yang bersemangat
independensi dan menjunjung tinggi kedaulatan sebuah Negara yang merdeka
dan berdaulat, tentunya harus dilakukan. Ke empat belas tim di atas
menyadari itu, tetapi upaya yang sangat panjang itu baru dapat mencapai hasil
pada tahun 2003, yaitu 58 tahun setelah masa kemerdekaan. Selain itu muatan
yang terdapat di dalam aturan-aturan kolonial itu sudah out of date dan
tidak
relevan lagi dengan kondisi saat ini, apalagi tingkat kompleksitas permasalahan
saat ini jauh lebih tinggi dari masa dulu. Oleh karena itu, walaupun
masih berlaku sebagai sebuah aturan perundang-undangan tetapi secara
materil sudah tidak dapat dilaksanakan.
Kekosongan
perundang-undangan ini membuat lemahnya sistem pengelolaan
Keuangan Negara. Selama ini, kekosongan itu hanya dilengkapi dengan
Keputusan Presiden, yang terakhir diantaranya di atur oleh Keppres No. 42
Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN dan Keppres 80 tahun 2003
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Keputusan Presiden di dalam tata hukum tidak terlalu mengikat sebagaimana
sebuah undang-undang.
Dari kelemahan tata
hukum itulah kemudian menjadi salah satu penyebab banyaknya
praktik penyimpangan dan KKN di dalam pengelolaan Keuangan negara
selama ini. Puncaknya dengan terjadi krisis moneter pertengahan 1997 yang
telah memporak-porandakan tatanan ekonomi yang telah dibangun dengan susah
payah oleh pemerintahan era orde baru ditandai dengan anjloknya rupiah hingga
menembus level Rp 17.000 per satu USD. Krisis berlanjut hingga menjadi krisis
multidimensional yang kemudian melahirkan era reformasi. Era reformasi inilah
yang memberikan momentum terciptanya tata aturan baru dalam pengelolaan
keuangan negara.
Paket UU Keuangan
Negara tersebut (yang terdiri dari dua UU yang sudah diundangkan,
yaitu UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No.1
tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, serta satu RUU, yaitu RUU Pemeriksaan
pengelolaan Keuangan Negara yang masih dibahas di DPR) merumuskan
empat prinsip dasar pengelolaan keuangan negara, yaitu:
1.
Akuntabilitas berdasarkan hasil atau
kinerja;
2.
Keterbukaan dalam setiap transaksi
pemerintah;
3.
Pemberdayaan manajer professional; dan
4.
Adanya lembaga pemeriksa eksternal yang
kuat, professional dan mandiri serta dihindarinya duplikasi
dalam pelaksanaan pemeriksaan.
Perubahan mendasar yang diatur oleh
Undang-undang No.17 tahun 2003 yaitu:
a. Tentang
pengertian dan ruang lingkup dari keuangan negara;
b. Azas-azas
umum pengelolaan keuangan negara;
c. Kedudukan
presiden sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara;
d. Pendelegasian
kekuasaan presiden kepada menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga;
e. Susunan
APBN dan APBD;
f. Ketentuan
mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD;
g. Pengaturan
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan bank sentral,
pemerintah daerah dan pemerintah/lembaga asing;
h. Pengaturan
hubungan keuangan antara pemerintah dengan perusahaan daerah dan perusahaan
swasta;
i.
Badan pengelola dana masyarakat; dan
j.
Penetapan bentuk dan batas waktu
penyampaian laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan
APBD.
k.
Penggunaan Medium Term Expenditure
Framework (MTEF) sebagai pengganti Propenas dan Repeta.
Sedangkan perubahan mendasar dalam
pengelolaan perbendaharaan negara yang tercantum dalam UU No.1
tahun 2004 yaitu:
a. Penerapan
anggaran berbasis kinerja;
b. Pemberlakuan
pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja negara berbasis
akrual;
c. Munculnya
jabatan fungsional Perbendaharaan Negara;
d. Pemberian
jasa giro atau bunga atas dana pemerintah yang disimpan pada
bank sentral;
5. Sertifikan Bank
Indonesia yang selama ini menjadi instrumen moneter akan
digantikan oleh Surat Utang Negara.
3.
Asas-asas Keuangan Negara
Dalam rangka mendukung
terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara
professional, terbuka, dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Sebagai penjabaran aturan pokok yang
telah ditetapkan dalam UUD 1945 tersebut, UU No. 17/2003 menjabarkannya
ke dalam asas-asas umum yang telah lama dikenal dalam pengelolaan
kekayaan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan
dan asas
spesialitas; maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best
practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam
pengelolaan keuangan negara, antara lain: akuntabilitas
berorientasi pada hasil, profesionalitas, proporsionalitas,
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan
keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
4. Kekuasaan atas
pengelolaan keuangan Negara
Presiden
selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Adapun kekuasaan tersebut ialah
meliputi :
a.
dikuasakan kepada Menteri Keuangan,
selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara
yang dipisahkan;
b.
dikuasakan kepada menteri/pimpinan
lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya;
c.
diserahkan kepada
gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk mengelola
keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
d.
tidak termasuk kewenangan dibidang
moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang
diatur dengan undangundang.
Dalam
rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai
tugas sebagai berikut:
a. menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b. menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e. melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan
dengan undang-undang;
f. melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan
APBN;
h. melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiscal berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Menteri/pimpinan
lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian negara/lembaga
yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang
dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya
ke Kas Negara;
e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian
negara atau lembaga yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian Negara /lembaga
yang dipimpinnya;
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Kekuasaan
pengelolaan keuangan daerah adalah sebagai berikut :
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah
selaku pejabat pengelola APBD;
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat
pengguna anggaran/barang daerah.
Dalam
rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah mempunyai
tugas sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
Kepala
satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah
mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung
jawab satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya.
5. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara
Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan
pertanggungjawaban keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat
waktu dan disusun dengan mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah
diterima secara umum.
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan
pertanggung-jawaban pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan
yang setidaktidaknya terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus
kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi
pemerintah. Laporan keuangan pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPR selambatlambatnya
6 (enam)
bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan, demikian pula
laporan keuangan pemerintah daerah yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan harus disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara
menteri/pimpinan lembaga atau gubernur/bupati/walikota selaku pengguna
anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang
ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari
segi manfaat atau hasil (outcome). Sedangkan Pimpinan unit organisasi
kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang
ditetapkan dalam Undangundang tentang APBN, demikian pula Kepala Satuan Kerja Perangkat
Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam
Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang dan/atau jasa yang disediakan (output).
Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang ini diatur sanksi yang berlaku bagi
menteri atau pimpinan lembaga/gubernur atau bupati atau walikota, serta Pimpinan
unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan dalam
Undang-undang tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD.
Ketentuan sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan
represif, serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD yang bersangkutan. Selain itu perlu ditegaskan
prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa yang diberi wewenang untuk
menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan
uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi
atas semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk
mengganti kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud
merupakan unsur pengendalian intern yang andal.
A. Anggaran Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
1. Pengertian dan Ruang lingku
(APBN)
Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(Pasal 1 angka 7, UU No. 17/2003). Merujuk Pasal 12 UU No. 1/2004
tentang
Perbendaharaan Negara, APBN dalam satu tahun anggaran meliputi:
a. Hak
pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih;
b. Kewajiban
pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih;
c.
Penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya.
APBN
disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan Negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Penyusunan Rancangan APBN tersebut
berpedoman kepada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan
bernegara. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan
untuk menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN. Jika
sebaliknya apa bila dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat
dapat mengajukan rencana penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat
selambat-lambatnya pertengahan bulan Mei tahun berjalan. Selanjutnya pemerintah
Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok
kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan pendahuluan
rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan
fiskal, Pemerintah Pusat bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan
umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga
dalam penyusunan usulan anggaran. Dalam rangka penyusunan rancangan APBN,
menteri atau pimpinan lembaga selaku
pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian Negara
atau lembaga tahun berikutnya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai, dan disertai dengan prakiraan belanja untuk
tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
a. Pendapatan Negara
dan Hibah
Penerimaan
APBN diperoleh dari berbagai sumber. Secara umum yaitu
penerimaan pajak yang meliputi pajak penghasilan (PPh),
pajak pertambahan nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Cukai, dan Pajak
lainnya, serta Pajak Perdagangan (bea masuk dan pajak/pungutan ekspor) merupakan
sumber penerimaan utama dari APBN. Selain itu, penerimaan negara
bukan pajak (PNBP) meliputi penerimaan dari sumber daya alam, setoran
laba BUMN, dan penerimaan bukan pajak lainnya, walaupun memberikan
kontribusi yang lebih kecil terhadap total penerimaan anggaran, jumlahnya
semakin meningkat secara signifikan tiap tahunnya. Berbeda dengan sistem
penganggaran sebelum tahun anggaran 2000, pada sistem penganggaran
saat ini sumber-sumber pembiayaan (pinjaman) tidak lagi dianggap
sebagai bagian dari penerimaan.
Dalam
pengadministrasian penerimaan negara, departemen/lembaga tidak boleh
menggunakan penerimaan yang diperolehnya secara langsung untuk membiayai
kebutuhannya.
Beberapa pengeculian dapat diberikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan terkait.
b. Belanja Negara
Belanja
negara terdiri atas anggaran belanja pemerintah pusat, dana
perimbangan, serta dana otonomi khusus dan dana penyeimbang. Sebelum diundangkannya
UU No. 17/2003, anggaran belanja pemerintah pusat dibedakan
atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. UU No.17/2003
mengintrodusing uniffied budget sehingga tidak lagi ada pembedaan
antara
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dana perimbangan terdiri
atas dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK).
Sementara itu, dana otonomi khusus dialokasikan untuk provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan provinsi Papua.
c. Defisit dan Surplus
Defisit atau surplus
merupakan selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran
yang melebihi penerimaan disebut defisit; sebaliknya,
penerimaan yang melebihi pengeluaran disebut surplus. Sejak
TA 2000, Indonesia menerapkan anggaran defisit menggantikan anggaran berimbang
dan dinamis yang telah digunakan selama lebih dari tiga puluh tahun. Dalam
tampilan APBN, dikenal dua istilah defisit anggaran, yaitu: keseimbangan
primer (primary balance) dan keseimbangan umum (overall balance).
Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk
pembayaran bunga. Keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja
termasuk pembayaran bunga.
d. Pembiayaan
Pembiayaan diperlukan
untuk menutup defisit anggaran. Beberapa sumber
pembiayaan yang penting saat ini adalah: pembiayaan dalam negeri
(perbankan dan non perbankan) serta pembiayaan luar negeri (netto) yang
merupakan selisih antara penarikan utang luar negeri (bruto) dengan pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri.
B. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD
meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember. APBD tersebut terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan
pembiayaan.
1.
Anggaran
pendapatan, terdiri atas :
a.
Pendapatan Asli Daerah
(PAD), yang meliputi pajak daerah,
retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain
b.
Bagian dana perimbangan,
yang meliputi Dana Bagi Hasil,
Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus
2.
Anggaran
belanja,
yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah.
3.
Pembiayaan,
yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
tahun-tahun anggaran berikutnya.
Dalam
penyusunannya, APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Penyusunan Rancangan APBD
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 berpedoman
kepada rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya
tujuan bernegara.
Dalam
hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Dalam hal
anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam
Peraturan Daerah tentang APBD ( pasal 17 ayat 3 dan 4 UU No. 17 Tahun 2003 ).
C. Bank Sentral
Bank sentral di suatu negara, pada
umumnya adalah sebuah instansi
yang bertanggung jawab atas kebijakan moneter
di wilayah negara tersebut. Bank Sentral berusaha untuk menjaga stabilitas
nilai mata uang,
stabilitas sektor perbankan, dan sistem finansial secara keseluruhan.
Di Indonesia,
fungsi bank sentral diselenggarakan oleh Bank
Indonesia. Bank sentral adalah suatu institusi
yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas harga atau nilai suatu
mata uang
yang berlaku di negara
tersebut, yang dalam hal ini dikenal dengan istilah inflasi
atau naiknya harga-harga yang dalam arti lain turunnya suatu nilai uang. Bank
Sentral menjaga agar tingkat inflasi terkendali dan selalu berada pada nilai
yang serendah mungkin atau pada posisi yang optimal bagi perekonomian (low/zero
inflation), dengan mengontrol keseimbangan jumlah uang dan barang. Apabila
jumlah uang yang beredar terlalu banyak maka bank sentral dengan menggunakan
instrumen dan otoritas yang dimilikinya.
Sejalan
dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 dimana kekuasaan
Pemerintah berada ditangan Presiden, sedangkan para Menteri adalah menjadi
pembantunya maka penetapan kebijaksanaan dibidang moneter dengan sendirinya
berada dalam tangan Presiden. Dalam prakteknya penetapan kebijaksanaan
Pemerintah di bidang moneter itu diolah dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh
para Pembantu Presiden. Dalam Prakteknya penetapan kebijaksanaan Pemerintah di
bidang moneter itu diolah dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh para Pembantu
Presiden.
Oleh
karena penelaahan persoalan moneter itu memerlukan koordinasi dan synkhronisasi
mengenai pelbagai bidang, maka dianggap perlu untuk membentuk suatu Dewan yang
terdiri dari Menteri-menteri yang memimpin bidang keuangan dan perekonomian
serta Gubernur Bank Sentral, yang bertugas membantu Pemerintah dalam pemikiran,
perencanaan dan penetapan kebijaksanaan di bidang moneter. Dewan tersebut
diberi nama Dewan Moneter. Jumlah Anggota Dewan Moneter ini besarnya dibatasi
dengan maksud agar Dewan ini tidak menjadi terlalu besar dan dapat bekerja
secara cepat dan tepat.
Sungguhpun
demikian, oleh karena bidang moneter itu menyangkut pula bidang-bidang ekonomi
dan pembangunan lainnya, maka jika dianggap perlu, Pemerintah dapat menambahkan
beberapa orang Menteri sebagai anggota penasehat pada Dewan Moneter. Disamping
tugas tersebut diatas, maka dalam pelakasanaan kebijaksanaan moneter itu perlu
juga adanya koordinasi dan synkhronisasi serta kesatuan pimpinan yang dapat
menjamin terlaksananya kebijaksanaan tersebut. Berhubung dengan itu maka Dewan
Moneter juga bertugas memimpin dan mengkoordinasikan pelaksanaaan kebijaksanaan
moneter yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.
Dalam
hubungan ini kedudukan Gubernur Bank Sentral dalam Dewan Moneter mempunyai arti
khusus, disebabkan oleh karena Bank Sentral dalam struktur pemerintahan
berkedudukan di luar Departemen-departemen, sedangkan Gubernur Bank Sentral
tidak mempunyai kedudukan sebagai Menteri. Dengan kedudukannya di luar
Departemen-departemen, Bank Sentral kini dapat menilai kebutuhan dan kemampuan
perekonomian Negara lebih obyektif dan bertindak berdasarkan wewenang yang
tercantum dalam UU No.13 th 1968.
Sungguhpun
Bank Sentral menjalankan tugasnya berdasarkan garis-garis kebijaksanaan
Pemerintah di bidang moneter, namun sesuai yang termuat dalam UU No. 13 th 1968,
kepada Bank Sentral diberikan beberapa wewenang yang ditujukan kearah
pemeliharaan dan jaminan dari pelaksanaan kebijaksanaan moneter itu yang sesuai
dengan kebutuhan penjagaan kestabilan nilai satuan uang rupiah dan perkembangan
produksi dan pembangunan guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Adapun
Menurut UU No.13 th 1968, wewenang-wewenang tersebut adalah antara lain:
a. Dibidang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pemberian kredit dalam rekening-koran kepada Pemerintah oleh Bank
Sentral hanya dilakukan dalam batas-batas Anggaran yang telah disetujui oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan jaminan kertas perbendaharaan. Permintaan kredit
yang melebihi batas-batas tersebut diatas hanya dapat dilakukan dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ini berarti bahwa Bank Sentral diberi
wewenang untuk menolak permintaan kredit dari Pemerintah sebelum Anggaran
tambahan disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Memperhatikan perkembangan
ekonomi dan keuangan sekarang ini, maka dalam Undang-undang ini batas-batas
terhadap pemberian kredit dalam rekening-koran kepada Pemerintah ditetapkan
sesuai dengan kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Apabila keadaan
ekonomi dan keuangan berubah sedemikian rupa hingga dapat diusahakan kembali
adanya kestabilan moneter maka batas-batas dalam pengendalian pembelian kredit
kepada Pemerintah ini perlu ditinjau kembali.
b. Di bidang perkreditan.
Bank Sentral dan perbankan pada umumnya diwajibkan mengikuti
batasbatas yang telah ditetapkan dalam rencana kredit. Rencana kredit tersebut
disusun oleh Bank Sentral untuk diajukan kepada Pemerintah melalui Dewan
Moneter dalam rangka penyusunan rencana moneter. Sebagai bangkers bank, Bank
Sentral dapat memberikan kredit likwiditas kepada bank-bank untuk tujuan
peningkatan produksi dan lain-lain sesuai dengan program Pemerintah, sedangkan
sebagai lender of last resort Bank Sentral dapat memberikan kredit likwiditas
kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likwiditas
yang dihadapinya dalam keadaan darurat. Dalam hal ini pemberian kredit yang
diberikan oleh Bank Sentral, dilakukan dalam rangka program Pemerintah dan
dalam batas-batas yang ditetapkan oleh rencana kredit dari tahun yang
bersangkutan. Disamping itu Bank Sentral mempunyai wewenang untuk menetapkan
batas-batas kwantitatif dan kwalitatif dibidang perkreditan bagi perbankan,
satu dan lain dalam rangka pelaksanaan kebijaksanaan moneter yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah.
c. Dibidang devisa.
Dalam menjaga dan memelihara kestabilan nilai Rupiah terhadap
valuta asing, maka Bank Sentral menyusun rencana devisa dalam rangka
pemeliharaan ekonomi nasional dan memperlancar usaha-usaha pembangunan dengan
memperhatikan posisi likwiditas dan solvabilitas internasional. Rencana devisa
tersebut diajukan kepada Pemerintah melalui Dewan Moneter dalam rangka
penyusunan rencana moneter. Untuk keperluan ini Bank Sentral antara lain
menetapkan dan memelihara cadangan minimum dibidang devisa dalam pertandingan
yang
layak terhadap kewajiban internasional. Apabila perkembangan neraca
pembayaran menunjukkan gejala-gejala yang menunjukkan turunnya cadangan devisa
dan emas milik Negara dibawah cadangan minimum, maka Bank mendahului Keputusan
Pemerintah tentang hal ini wajib mengambil tindakan pengamanan yang
dipandangnya perlu untuk mengembalikan keseimbangan dalam neraca pembayaran
tersebut.
d. Dibidang pembinaan dan pengawasan Bank.
Bank Sentral berkewajiban pula untuk membina dan mengawasi
perbankan di Indonesia, baik dari sudut ekonomi perusahaan terutama dengan jalan
pengaturan dan penjagaan likwiditas dan solvabilitas bank maupun dan sudut
moneter dengan jalan pengaturan dan pengawasan terhadap pemberian kredit bank.
Sebagaimana
dimaklumi, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (termasuk anggaran
pembangunan), rencana kredit dan rencana devisa merupakan komponen-komponen
dari rencana moneter, yang penetapannya dilakukan dengan memperhatikan
efek-efek moneter yang telah diperhitungkan oleh Pemerintah berdasarkan suatu
program ekonomi jangka pendek dan jangka panjang, yang telah ditetapkan bagi
tahun yang bersangkutan. Bersama-sama dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara yang setiap tahunnya diajukan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk disetujui, maka dalam Nota Keuangan yang diajukan itu dicantumkan
pula komponen-komponen lainnya yaitu rencana kredit dan rencana devisa.
Dalam
rangka rencana moneter tersebut, maka dalam Nota Keuangan dinyatakan pula oleh
Pemerintah jumlah maksimum uang yang dapat diedarkan oleh Bank Sentral untuk
tahun yang bersangkutan. Penetapan jumlah maksimum uang yang dapat diedarkan
itu pada dasarnya merupakan pembatasan yang pada dewasa ini berdasarkan keadaan
ekonomi dan keuangan Negara dapat diletakkan terhadap Bank Sentral sebagai Bank
yang mempunyai hak tunggal untuk mengeluarkan uang yang merupakan alat pembayaran
yang sah. Apabila keadaan ekonomi keuangan berubah sedemikian rupa, hingga memungkinkan
diusahakan kembali adanya suatu kestabilan moneter, maka batas-batas dalam
pengendalian pengedaran uang oleh Bak Sentral itu perlu ditinjau kembali. Dalam
hubungan ini dapat kiranya diusahakan adanya suatu jaminan berupa emas dan
devisa milik Negara dalam perbandingan yang wajar terhadap jumlah uang yang
beredar, satu dan lain untuk mengembalikan dan mempertinggi kepercayaan
terhadap Rupiah.
D. Pajak
1. pengertian pajak
Menurut
Prof Dr Rochmat Soemitro, SH Pajak
adalah iuran kepada kas negara berdasarkan UU (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut
Prof P.J.A Andriani, pajak adalah iuran kepada negara yang menurut ketentuan
perundang-undangan tanpa mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk
yang tujuannya untuk digunakan membiayai pengeluaran publik sehubungan dengan
tugas Negara.
2.
UNsur-unsur Pajak
Adapun unsure-unsur
pajak tersebut adalah sebagai berikut :
- Iuran dari rakyat kepada kas negara
- Berdasarkan undang undang
- Tanpa kontraprestasi dari negara secara langsung
- Digunakan untuk membiayai Negara.
4.
Fungsi
Pajak
Adapun
dari fungsi pajak itu adalah sebagai berikut :
- Fungsi anggaran (budgeter)
- Fungsi mengatur (regulern)
5.
Kedudukan
Hukum Pajak
Adapun
kedudukan hukum pajak itu sendiri adalah :
a.
Hukum Perdata, mengatur hubungan individu dg individu lain
b.
Hukum Publik, mengatur hubungan antara
pemerintah dan rakyat
1.Hukum
Tata Negara
2.Hukum
Tata Usaha
3.Hukum
Pidana
4.Hukum
Pajak, pajak masuk dalam ruang lingkup hukum Publik lex specialis derogat lex
generalis, imperatif (tdk dapat ditunda).
6.
Macam
Hukum Pajak
a.
Hukum Pajak Materiil, memuat norma yg
menerangkan : objek Pajak, subjek Pajak, tarif, timbul dan hapus utang pajak,
dan hubungan hk antara pemerintah dan WP
b.
Hukum Pajak Formil, memuat bentuk/tata
cara melaksanakan hk pajak materiil, semua prosedur penetapan utang pajak, hak dan
kewajiban WP dan Fiskus dan lain-lain.
7. The Four Maxims (Adam Smith)
a.
Equality , Pajak harus adil dan merata,
yaitu dikenakan sebanding dng kemampuannya untuk membayar dan sesuai dengan
manfaat yang diterimanya
b.
Certainty , Pajak tidak dipungut secara
sewenang-wenang, pajak harus dipungut dengan jelas bagi semua wajib pajak.
c.
Convenience , Saat wajib pajak membayar
hendaknya ditentukan pada saat yang tidak menyulitkan bagi wajib pajak.
d.
Economy , Biaya pemungutan pajak
hendaknya lebih kecil dari pajak yang diperoleh.
8. Syarat Pemungutan Pajak
a.
Syarat Keadilan
b.
Syarat Yuridis à
berdasarkan undang-undang
c.
Syarat Ekonomis à
tidak mengganggu kegiatan perekonomian
d.
Syarat Finansiil à
efisien
e.
Syarat Kesederhanaan
f.
(Mardiasmo)
9. Teori Pemungutan Pajak
a.
Teori Asuransi, negara melindungi rakyat
à
maka harus membayar pajak sbg premi
b.
Teori Kepentingan, beban pajak
didasarkan kepentingan masing-asing orang à makin besar
kepentingan makin besar pajak
c.
Teori Daya Pikul, pajak dibayar harus
sama berat sesuai daya pikul masing2 orang
i.
unsur objektif à besarnya
penghasilan
ii.
unsur subjektif à besarnya
kebutuhan materiil
d.
Teori Bakti, hubungan rakyat kpd negara
bhw pajak adalah kewajiban utk berbakti kpd negara
e.
Teori Azas Daya Beli, dasar keadilan
terletak pd akibat pemungutan pajak, menarik pajak berarti menarik daya beli
dari RT Masyarakat ke RT Negara
10. Stelsel Pemungutan Pajak
a.
Stelsel riel (nyata), berdasarkan
penghasilan yg nyata à baru dilakukan akhir tahun
b.
Stelsel fictive (anggapan), anggapan
diatur oleh UU mis; penghasilan satu tahun dianggap sama dg th sebelumnya, awal
tahun pajak sudah ditentukan besarnya
c.
Stelsel Campuran, anggapan kemudian
disesuaikan dengan keadaan sebenarnya
11. Azas Pemungutan Pajak
a.
Azas Domisili (tempat tinggal), negara
berhak memungut pajak atas penghasilan WP yg berdomisili di wilayahnya
b.
Azas Sumber, negara mengenakan pajak
atas penghasilan yang bersumber dari wilayahnya
c.
Azas Kebangsaan, dihubungkan atas
kebangsaan. Contohnya pajak bangsa asing
12. Sistem Pemungutan Pajak
a.
Official Assesment System memberi
kewenangan kpd Fiskus untuk menentukan besarnya pajak terutang. Adapun
cirri-cirinya adalah :
i.
Wewenang pada fiskus
ii.
WP pasif
iii.
Utang pajak timbul setelah ada surat
ketetapan pajak
b.
Self Assesment System memberi kewenangan
kpd WP untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang. Adapun cirri-cirinya
adalah :
i.
Wewenang pada WP
ii.
WP aktif menghitung, menyetor &
melapor
iii.
Fiskus tdk ikut campur, hanya
mengawasi
c.
Wiholding System memberi kewenangan kpd
fihak ketiga untuk menentukan besarnya pajak terutang. Cirri-cirinya adalah wewenang
pada fihak ketiga selain Fiskus dan WP
13. Pengelompokan Pajak menurut Golongan
a.
Pajak Langsung langsung dipikul sendiri
oleh WP, tidak dapat dibebankan / dilimpahkan kpd orang lain
b.
Pajak Tidak Langsung pajak yg akhirnya
dapat dibebankan / dilimpahkan kpd orang lain
14. Pengelompokan Pajak menurut
Sifatnya
a.
Pajak Subjektif didasarkan pada subjeknya memperhatikan diri
WP
b.
Pajak Objektif didasarkan pada Objeknya
tanpa memperhatikan diri WP
15. Pengelompokan Pajak menurut Lembaga
Pemungut
a.
Pajak Pusat dipungut oleh pemerintah
pusat al; PPh, PPN & PPn BM, PBB
b.
Pajak Daerah dipungut oleh pemerintah
daerah
c.
Pemda Tk I pajak kendaraan bermotor, bea
balik nama kendaraan bermotor
d.
Pemda Tk II Pb I,pajak penerangan jalan
16. Timbul dan hapusnya utang pajak
a.
Timbulnya Utang Pajak
b.
Ajaran formil dikeluarkannya surat
ketetapan oleh fiskus
c.
Ajaran materiil diberlakukannya
undang-undang
d.
Hapusnya utang pajak
e.
Pembayaran
f.
Kompensasi
g.
Daluwarsa
h.
Pembebasan dan penghapusan
17. Hambatan Pemungutan Pajak
a.
Perlawanan Pasif masyarakat enggan
membayar pajak disebabkan semuanya
b.
Perkembangan intelektual dan moral
masyarakat
c.
Sistem perpajakan yg sulit dipahami
masyarakat
d.
Sistem kontrol tidak dapat dilakukan dg
baik
e.
Perlawanan Aktif semua perbuatan yg secara langsung dilakukan
utk menghindari pajak
f.
Tax Avoidance : meringankan beban pajak
dengan tidak melanggar UU
g.
Tax Evasion : meringankan beban pajak dengan
tidak melanggar UU
18. Tarif Pajak
a.
Proporsional, dengan prosentase tetap
terhadap jumlah yg dikenakan pajak à proporsional
dari nilai yg dikenakan pajak. Contoh PPN 10%
b.
Tetap, tetap sama thd berapapun jumlah
yg dikenai pajak shg pajak yg terutang tetap. contoh Bea Materai Rp 6.000
c.
Progresif, prosentase tarif semakin
besar bila jumlah yg dikenakan pajak semakin besar. Contoh tarif psl 17 PPh
d.
Degresif, prosentase tarif semakin kecil
bila jumlah yg dikenakan pajak semakin besar.
Belum ada tanggapan untuk "Keuangan Negara"
Post a Comment
Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^