Hukum Humaniter Internasional




Pengertian
Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).

Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.

Tujuan
            Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat
dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum
humaniter tersebut, yaitu :
1.      Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2.      Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.      Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan.


 Hubungan Hukum Humaniter Dengan Hak Asasi Manusia
            Sangat penting untuk memahami pengertian istilah “hak bangsa-bangsa, hak asasi manusia dan hukum humaniter”. Hal ini penting untuk mengetahui kapan sesungguhnya konsep-konsep tersebut termasuk ke dalam suatu sistem hukum. Ini menjadikannya penting untuk menegaskan hakikat hukum humaniter dan hakikat hukum hak asasi manusia dan mengingat
persamaan dan perbedaan diantara dua cabang hukum internasional publik ini. Juga sangatlah penting bagi mereka yang bertanggungjawab menyebarkan penerangan mengenai hukum humaniter internasional dan atau hukum hak asasi manusia untuk mampu memberikan penjelasan sesungguhnya mengenai subyek tersebut. Ini adalah kepentingan terbesar orang yang dilindungi oleh kedua hukum, tetapi juga membantu para pejabat Negara yang bertanggungjawab atas perlindungan tersebut. Pada mulanya, tidak pernah ada perhatian mengenai hubungan hukum hak asasi manusia dan hukum humaniter. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika
Pernyataan Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) 1948 tidak menyinggung tentang penghormatan hak asasi manusia pada waktu sengketa bersenjata.
            Dalam konvensi-konvensi tentang hak asasi manusia terdapat pula berbagai ketentuan yang penerapannya justru pada situasi perang. Konvensi Eropa tahun 1950, misalnya dalam Pasal 15, menentukan bahwa bila terjadi perang atau bahaya umum lainnya yang mengancam stabilitas nasional, hak-hak yang dijamin dalam konvensi ini tidak boleh dilanggar. Meskipun dalam keadaan demikian, paling tidak ada 7 (tujuh) hak yang harus tetap dihormati, karena merupakan intisari dari Konvensi ini, yaitu hak atas kehidupan, kebebasan, integritas fisik, status sebagai subyek hukum, kepribadian, perlakuan tanpa diskriminasi dan hak atas keamanan. Ketentuan ini terdapat juga dalam Pasal 4 Kovenan PBB mengenai hak-hak sipil dan politik dan Pasal 27 Konvensi HAM Amerika. Selain itu, terdapat pula hak-hak yang tak boleh dikurangi (non derogable rights), baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan sengketa bersenjata. Hak-hak yang tak boleh dikurangi tersebut meliputi hak hidup, prinsip (perlakuan) non diskriminasi, larangan penyiksaan (torture), larangan berlaku surutnya hukum pidana seperti
yang ditetapkan dalam konvensi sipil dan politik, hak untuk tidak dipenjarakan karena ketidakmampuan melaksanakan ketentuan perjanjian (kontrak), perbudakan (slavery), perhambaan (servitude), larangan penyimpangan berkaitan dengan dengan penawanan, pengakuan seseorang sebagai subyek hukum, kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama, larangan penjatuhan hukum tanpa putusan yang dimumkan lebih dahulu oleh pengadilan yang lazim, larangan menjatuhkan hukuman mati dan melaksanakan eksekusi dalam keadaan
yang ditetapkan dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (d) yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa.
            Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak yang tak dapat dikurangi ini antara lain tercantum dalam ketentuan Pasal 3 tentang ketentuan yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada “pihak peserta agung” untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan status “belligerent” menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi itu.
           
Konferensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Teheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan antara Hak Asasi Manusia (HAM) dan Hukum Humaniter Internasional (HHI). Dalam Resolusi XXIII tanggal 12 Mei 1968 mengenai “penghormatan HAM pada waktu pertikaian bersenjata”, meminta agar konvensi konvensi tentang pertikaian bersenjata diterapkan secara lebih sempurna dan supaya disepakati perjanjian baru mengenai hal ini. Resolusi ini mendorong PBB untuk menangani pula Hukum Humaniter Internasional.
Walaupun hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia keduanya didasarkan atas perlindungan orang, terdapat perbedan khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan diantara keduanya. Hukum humaniter internasional berlaku dalam kasus-kasus sengketa bersenjata, baik internasional maupun non internasional atau perang saudara (civil war). Di satu pihak, hukum humaniter internasional terdiri atas standar-standar perlindungan bagi para korban sengketa, disebut hukum Jenewa, dan dilain pihak peraturan-peraturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang dan tindakan permusuhan, juga dikenal sebagai hukum Den Haag.
Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa hak-hak dan kebebasan sipil, politik, ekonomi dan budaya dan setiap orang perorangan dihormati pada segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya dan melindunginya jika perlu terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yang bertanggungjwab. Hak-hak ini tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang sangat fundamental dijumpai dalam konstitusi negara-negara. Namun hukum hak asasi manusia juga berkaitan dengan perlindungan internasional hak asasi manusia, yakni aturan-aturan yang disetujui untuk dipatuhi oleh negara-negara dalam kaitannya dengan hak dan kebebasan orang perorangan dan bangsa. Hukum humaniter internasional secara khusus dapat dianggap dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara hak-hak dasar (untuk hidup, keamanan, kesehatan, dsb) dari korban dan non kombatan dalam peristiwa sengketa bersenjata. Ada hukum darurat yang diperintahkan karena
keadaan-keadaan khusus, sedangkan hak asasi manusia, yang berjalan dengan sangat baik di masa damai, terutama berkaitan dengan perkembangan yang harmonis dari setiap orang.
Dengan demikian, walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlaku pada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrument hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrument-instrument hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik.
Intisari dari hak-hak asasi manusia (hard core rights) atau dapat juga disebut sebagai hakhak yang paling dasar, menjamin perlindungan minimal yang mutlak dihormati terhadap siapapun, baik di masa damai maupun di waktu perang. Hak-hak ini merupakan bagian dari kedua sistem
hukum tersebut. Oleh karena itu, maka kedua bidang ini merupakan instrumen-instrumen hukum
yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan. Instrumeninstrumen hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada orang perorangan ini dapat digolongkan ke dalam empat kelompok :
1.      Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan sebagai anggota masyarakat. Perlindungan ini meliputi segenap segi perilaku perorangan dan sosialnya. Perlindungan ini bersifat umum. Kategori ini justru mencakup hukum hak asasi manusia internasional.
2.      Instrumen yang bertujuan melindungi orang perorangan berkaitan dengan keadaannya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang perlindungan terhadap kaum wanita dan hukum internasional berkaitan dengan perlindungan terhadap anak.
3.      Instrumen hukum yang bertutujuan melindungi orang perorangan dalam kaitannya dengan fungsinya di dalam masyarakat, seperti hukum internasional tentang buruh.
4.      Instrumen hukum yang bertujuan melindungi orang perorangan dalam keadaan darurat, apabila terjadi situasi yang luar biasa dan yang mengakibatkan ancaman adanya pelanggaran hak asasi atas haknya yang biasanya dijamin oleh hukum yang berlaku, seperti hukum internasional tentang pengungsi dan hukum humaniter internasional yang melindungi para korban akibat sengketa bersenjata.

D. Asas-asas dan Prinsip-prinsip Hukum Humaniter
            Pada umumnya para ahli berpendapat bahwa penyusunan hukum humaniter dilandasi oleh prinsip-prinsip :
1.      Asas kepentingan militer (Military Necessity)
Yang dimaksudkan dengan prinsip ini ialah hak dari para pihak yang berperang untuk menentukan kekuatan yang diperlukan untuk menaklukan musuh dalam waktu yang sesingkatsingkatnya dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dengan korban yang sekecil kecilnya. Namun demikian, perlu diingat pula bahwa hak pihak yang berperang untuk memiliki alat/senjata untuk menaklukan musuh adalah tidak terbatas.
2.      Asas Kemanusiaan (Humanity)
Prinsip ini melarang penggunaan semua macam atau tingkat kekerasan (violence) yang tidak diperlukan untuk mencapai tujuan perang. Orang-orang yang luka atau sakit, dan juga mereka yang telah menjadi tawanan perang, tidak lagi merupakan ancaman, dan oleh karena itu mereka harus dirawat dan dilindungi. Demikian pula dengan penduduk sipil yang tidak turut serta dalam konflik harus dilindungi dari akibat perang.
3.      Asas Kesatriaan (Chivalry)
Prinsip ini tidak membenarkan pemakaian alat/senjata dan cara berperang yang tidak terhormat. Prinsip ini merupakan sisa dari sifat-sifat ksatriaan yang dijunjung tinggi oleh para ksatria pada masa silam.
4.      Prinsip Pembedaan
Prinsip pembedaan (distinction principle) adalah suatu prinsip atau asas yang membedakan atau membagi penduduk dari suatu negara yang sedang berperang atau sedang terlibat dalam konflik bersenjata ke dalam dua golongan, yaitu kombatan (combatan) dan penduduk sipil (civilian). Kombatan adalah golongan penduduk yang secara aktif turut serta dalam permusuhan (hostilities), sedangkan penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan. Perlunya prinsip pembedaan ini adalah untuk mengetahui mana yang boleh dijadikan sasaran atau obyek kekerasan dan mana yang tidak boleh dijadikan obyek kekerasan. Dalam pelaksanaannya prinsip ini memerlukan penjabaran lebih jauh lagi dalam sebuah asas pelaksanaan (principles of application), yaitu :
a.       Pihak-pihak yang bersengketa, setiap saat, harus membedakan antara kombatan dan penduduk sipil guna menyelamatkan penduduk sipil dan obyek-obyek sipil.
b.      Penduduk sipil, demikian pula orang-orang sipil secara perorangan, tidak boleh dijadikan obyek serangan walaupun dalam hal pembalasan (reprisals).
c.       Tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan terror terhadap penduduk sipil adalah dilarang.
d.      Pihak-pihak yang bersengketa harus mengambil segala langkah pencegahan yang memungkinkan untuk menyelamatkan penduduk sipil atau, setidak-tidaknya untuk menekan kerugian atau kerusakan yang tidak disengaja menjadi sekecil mungkin.
e.       Hanya anggota angkatan bersenjata yang berhak menyerang dan menahan musuh.
5.      Rule of Engagement (ROE)
Penting kiranya bagi seorang komandan angkatan bersenjata untuk mengetahui adanya suatu “petunjuk” yang memuat hal-hal apa yang boleh dan apa yang dapat ia lakukan apabila menghadapi situasi yang gawat, terlebih lagi dalam masa damai. Dengan kata lain, sebaiknya ada petunjuk yang jelas kapan dan dalam keadaan bagaimana komandan dibenarkan menggunakan kekerasan, seperti misalnya kapan ia diperbolehkan melepaskan tembakan. Petunjuk atau pedoman ini sangat diperlukan para komandan dalam semua tingkatan agar dalam menjalankan tugasnya tidak berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum, dan dalam menyusun petunjuk tersebut hal yang harus diperhatikan adalah :
a.       tujuan (objectives);
b.      perintah (orders);
c.       pembatasan (restrainst);
Terintegrasinya ketiga hal tersebut, dalam istilah angkatan bersenjata negara-negara barat telah menghasilkan apa yang disebut sebagai “Rules of Engagement (ROE)”. Istilah Rules of Engagement untuk pertama kalinya dipergunakan oleh Royal Navy yang bertugas di Malta dalam operasinya di laut Tengah pada tahun 1960-an. Kemudian ROE ini semakin meluas dan dipergunakan juga dalam perang Vietnam dan NATO.
Yang dimaksud dengan ROE adalah keseluruhan instruksi yang dapat diberikan kepada suatu kesatuan operasional. Namun demikian, ROE tidak harus selalu berkaitan dengan perintah yang diberikan dalam menghadapi musuh, ROE dapat diberikan kepada suatu kesatuan yang mengadakan kunjungan persahabatan. ROE dapat bersifat tetap (standing) atau khusus (particular). Standing rules ini berhubungan dengan hak untuk mengadakan self-defence, yaitu yang menentukan apa yang harus dilakukan apabila kesatuan itu menghadapi ancaman yang mendadak, misalnya adanya ancaman serangan peluru kendali. Namun demikian, tidaklah mudah untuk menentukan kapan tindakan yang dilakukan untuk membela diri boleh dimulai atau dilakukan. Hal ini berkaitan dengan batasan mengenai pengertian armed attacks. Untuk kepentingan semacam inilah pada awalnya ROE ini disusun. Dalam pengertian sekarang ROE mencakup keseluruhan instruksi, baik yang bersifat tetap maupun khusus yang berhubungan dengan operasi angkatan bersenjata. ROE mungkin sekali dimulai dengan suatu statement yang mengenai tujuan (objectives) dan kebijaksanaan pemerintah, sampai pada tindakan yang :
a.       diizinkan (permitted);
b.      dilarang (forbidden);
c.       disediakan setelah ada otorisasi (reserved for authirization).
Adakalanya seorang komandan dalam mengantisipasi suatu ancaman tertentu meminta ROE dahulu kepada markas besar. Dalam angkatan laut Inggris, sebelum melakukan suatu tindakan operasional, seorang komandan yang memimpin angkatan laut terlebih dahulu meminta “permissive ROE” kepada markas besar. Kemudian markas besar meneruskan permintaan tersebut kepada kabinet, dan kabinetlah yang memberikan persetujuan terakhir. Dengan demikian, dalam ROE ini dapat dilihat adanya penyatuan antara hukum humaniter dengan ketentuan-ketentuan operasional itu sendiri.

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Hukum Humaniter Internasional"

  1. Lately there is often wars in some countries, the main factor is the struggle for a region rich in natural resources. can not be denied the interests of a country to the natural resources, not apart from the state of a country's economy. global economic control determines the value of a country in the eyes of the world. therefore the superpower and superpower, always aiming for such things. inevitably a war is the last resort in order to master and possess it. but the blonde sometimes ignores the humanity. the most important is humanity above all as the life of the nation and the state.

    ReplyDelete

Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^