BAB.
I
Pendahuluan
A. Latar belakang
Pada
dasarnya yang menjadi tujuan utama dan menjadi dasar kekuatan mengikat dari
hukum itu sendiri ialah adanya suatu keadilan, kepastian hukum dan adanya suatu
kemanfaatan. Selain itu juga tujuan lainnya dari hukum ialah untuk mencegah
terjadi pelanggaran dan tindak kejahatan, yang mana hal itu agar terciptanya
suatu keadaan yang aman, damai dan harmonis dalam hidup bermaryarakat,
berbangsa dan bernegara. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah
hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini
nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana
mati.
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman
serta semangkin kompeksnya permasalahan-permasalahan yang timbul dalam
masyarakat disuatu Negara tidak heran hukum yang ada dalam suatu Negara juga
mengalami perubahan perubahan, yang selalu berusaha mewujudkan suatu tujuan
hukum yang selalu dicita-citakan. Berkenaan dengan jenis hukum yang berlaku
disuatu Negara, terutama bicara masalah pidana mati tentu disetiap Negara itu
mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang penerapan hukum pidana mati ini.
Coba kita telusuri kembali sejarah masa lampau tentang
hukum pidana yang mana adanya sikapkap dan pendapat yang ditunjukkannya oleh
sebagian orang, bahwa pidan mati merupakan hal yang pantas, pas, baik dan layak
untuk dilakukan, atas dasar perbuatan yang sesuai dengan apa yang telah ia
lakukan, seperti tindak kejahatan-kejahatan berat dan tindakan lain yang
dianggap bertentangan dengan nilai, etika, moral, norma, hati nurani dan
keadilan.
Indonesia yang sedang mengadakan pembaharuan di bidang
hukum pidananya, juga tidak terlepas dari persoalan pidana mati ini. Pihak
pendukung dan penentang pidana mati yang jumlahnya masing-masing cukup besar,
mencoba untuk tetap mempertahankan pendapatnya. Hal ini tentu saja akan membawa
pengaruh bagi terbentuknya suatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
yang baru, buatan bangsa sendiri, yang telah lama dicita-citakan. Disinilah
sebenarnya letak permasalahan itu yang mana setiap orang itu mempunyai pendapat
dan keinginan yang berbeda dan dalam hal pidana mati itu ada yang
mempertahankannya dan ada pula yang meniadakannya yang mana hal itu dianggap
bertentangan dengan HAM, manusia berhak untuk hidup, dan mempertahankan
hidupnya dan kehidupannya sebagai anugrah pemberian tuhan yang dibawanya sejak
ia lahir.
B.Permasalahan
1.
Mengapa ada hukuman mati, sedangkan UUD
1945, Undang-undang dan Agama mengatur adanya hak untuk hidup ?,
2.
Apakah pidana mati itu telah sesuai
dengan tujuan dari pada hukum yang sebenarnya ?,
3.
Hal apa yang bisa membuat seseorang bisa
dipidana mati dalam perundang-undangan Indonesia ?.
C.
Kerangka Teoritik
1. Dewan
Pertahanan Keamanan Nasional, 1993. Pemikiran
Tentang Hak Asasi Manusia, Sudut
Pandang Bangsa Indonesia, Jakarta
2. Kusumaatmadja,
M.,1970. Fungsi dan Perkembangan Hukum
dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Lembaga Penelitian Hukum dan
Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
3. Darmodiharjo,
Darji.,2006. Pokok-pokok Filsafat Hukum:
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Cet. Ke-6, Jakarta
BAB.
II
Pembahasan
A. Mengapa ada Hukum Mati,
Sedangkan UUD 1945, UU dan Agama Megatur tentang Adanya Hak untuk Hidup
Sebelum
membahas lebih jauh tentang mengapa hukum mati itu ada, ada kalanya kita bahas
dulu apa arti atau pengertian dari hukum itu. Dibawah ini akan dituliskan
beberapa defenisi hukum menurut para ahli, adapun defenisi tersebut adalah
sebagai berikut :
1.
L.J. Van Apel Doorn, defenisi tentang
hukum sangat sulit untuk dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakan yang
sesuai dengan kenyataan.
2.
Prof. Dr. E. Utrecht, SH, hukum adalah
himpunan petunjuk hidup (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengatur
tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh anggota
masyarakat tersebut, oleh karena pelanggaran petunjuk.
3.
Van Vollenhoven, hukum adalah suatu
gejala dalam suatu pergaulan hidup yang bergejolak terus-menerus dalam keadaan
bentur-membentur tanpa henti-hentinya dengan gejala-gejala lain.
4.
S.M. Amin, hukum adalah
kumpulan-kumpulan peraturan yang terdiri dari norma dan sangsi, sedangkan
tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia.
Dari
defenisi beberapa para ahli tersebut, paling tidak hukum itu memeliki beberapa
unsur, diantaranya ialah peraturan-peraturan mengenai tingkahlaku seseorang
atau individu dalam masyarakat, peraturan-peraturan itu dibuat oleh badan-badan
resmi yang berwajib, peraturan itu bersifat memaksa, dan sanksi terhadap pelanggaran
peraturan tersebut sangat tegas.
Selanjutnya untuk menjawab pertanyaan mengapa
hukum mati itu masih diberlakukan, kita baiknya lihat dari apa yang menjadi
tujuan dari hukum itu, yang mana masalah pemidanaan tersebut berkaitan erat
dengan posisi atau kedudukan kehidupan seseorang didalam masyarakat, yang mana
hal itu berhubungan dengan sesuatu hal atau benda hukum yang terpenting dan
mendasar dalam kehidupan masyarakat, seperti nyawa, kemerdekaan, kebebasan dan
martabat.
Pada masa sekarang ini telah umum diterima pendapat bahwa
yang menjatuhkan pidana adalah negara atau pemerintah dengan perantaraan
alat-alat hukum pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan hukum pidana selalu
dihadapkan dengan suatu paradoxaliteit yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan
sebagai berikut : “Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu,
menjamin supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi
kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan justru
menjatuhkan hukuman itu, maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara
diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak
pemerintah Negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan
siapapun juga, sedangkan pada pihak lain, pemerintah negara menyerang pribadi
manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu".
Pada dasarnya manusia sebagai mahluk
Tuhan Yang Mahaesa itu mempunyai dua sisi yang saling bertolak belakang,
manusia bisa saja menjadi sangat mulia dan juga bisa menjadi mahluk yang sangat
hina. Kedua sisi yang saling bertolak belakang ini, agar tetap terjaga dan
tetap diakui maka harus dipelihara secara seimbang. Kedua sisi yang sangat
bertolak belakang ini juga diterjemahkan dalam hukum, ketika seseorang tidak
bersalah maka hak dan martabatnya dianggap suci dan dilindungi secara penuh,
dan sebaliknya bila seseorang berbuat salah yang sangat berat sehingga sampai
pada hukuman mati, maka satu persatu dari sendi-sendi kemuliaannya, seperti hak
asasinya hilang, kemudian hukum memperlakukannya sesuai dengan kehinaannya atau
kesalahannya tersebut. Ia tidak lagi dianggap sebagai anggota masyarakat yang
baik dan berguna, malahan sebaliknya ia dianggap sebagai pembuat onar atau
sumber dari masalah dan membahayakan dalam lingkungan masyarakat sehingga ia
dihilangkan dari dalam kelompok masyarakat tersebut. Dan pada akhirnya
pengakuan terhadap hak asasinya dan keberadaanya tidak lagi mendapat iba dari
masyarakat, dan masyarakat menganggap hal itu memang layak di berikan
kepadanya. Hak Asasi seseorang pelaksanaanya tidak bisa secara mutlak, karena
penuntutan pelaksanaan secara mutlak berarti melanggar Hak Asasi yang sama dari
orang lain, atau dengan kata lain Hak Asasi seseorang adalah merupakan
kewajiban bagi orang lain, dan beitu juga sebaliknya kewajiban bagi seseorang
adalah merupakan hak bagi orang lain, atau makna secara umumnya didalam hak itu
timbul adanya kewajiban.
Dengan demikian adanya pertanyaan
dan anggapan mengapa hukum pina ada mencantumkan hukum mati dan dianggap melanggar
HAM dan bertentangan dengan kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Mahaesa,
dalam artian karena tidak adanya keyakinan akan sisi kehinaan kesalahan manusia
sehingga ia dipandang mulia selamanya dan dipandang memiliki hak yang mutlak
selamanya dan dalam keadaan apa pun. Dengan penggabungan dua sisi manusia yang
saling bertolak belakang tersebut, maka hukum pidana mati dianggap keras dan
dan berat, tetapi hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang sebenarnya
telah dilucuti harkat dan martabat kemanusiaannya, sehingga penerapanya tidak
dapat dikatakan bertentangan dengan HAM, UUD 1945, UU, dan agama. Pada intinya
sesuatu tindak pemidanaanya dapat bisa diakui dan bisa diterapkan bila memiliki
tiga asas, yaitu asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
B. Apakah Pidana Mati itu Telah
Sesuai Dengan Tujuan Dari Pada Hukum yang
Sebenarnya
Sebelum
membahas pertanyaan apakah pidana mati telah sesuai dengan tujuan dari pada
hukum yang sebenarnya, ada baiknya kita bahas terlebih dahulu, apakah tujuan dari
hukum itu sebenarnya harus dikaitkan dengan aliran-aliran dalam hukum pidana.
Dibawah ini akan dijelas beberapa aliran-aliran, seperti aliran klasik, aliran
moden atau aliran positif dan aliran neo klasik. Adapun aliran tersebut adalah
sebagai berikut :
1. Aliran Klasik
Aliran klasik yang muncul pada abad
ke-18 merupakan respon dari ancietn
regime di Perancis
dan Inggris yang banyak menimbulkan ketidakpastian hukum, Aliran ini berfaham
indeterminisme mengenai kebebasan kehendak (free will) manusia yang menekankan pada
perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (daad-strefrecht). Aliran klasik pada prinsipnya hanya
menganut single
track system berupa
sanksi tunggal, yaitu sanksi pidana. Aliran ini juga bersifat retributif dan
represif terhadap tindak pidana karena tema aliran klasik ini, sebagaimana
dinyatakan oleh Beccarian adalah doktrin pidana harus sesuai dengan kejahatan.
Sebagai konsekuensinya, hukum harus dirumuskan dengan jelas dan tidak
memberikan kemungkinan bagi hakim untuk melakukan penafsiran. Hakim hanya
merupakan alat undang-undang yang hanya menentukan salah atau tidaknya
seseorang dan kemudian menentukan pidana. Undang-undang menjadi kaku dan
terstruktur. Aliran klasik ini mempunyai
karakteristik sebagai berikut :
a.
Definisi hukum dari kejahatan;
b.
Pidana haru sesuai dengan kejahatannya;
c.
Doktrin kebebasan berkehendak;
d.
Pidana mati untuk beberapa tindak
pidana;
e.
Tidak ada riset empiris; dan
f.
Pidana yang ditentukan secara pasti.
Tokoh dalam aliran klasik ini adalah Cesare
Beccaria dan Jeremi Bentham. Beccaria meyakini konsep kontrak sosial dimana
individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaannya secukupnya kepada negara dan
oleh karenanya hukum harusnya hanya ada untuk melindungi dan mempertahankan
keseluruhan kemerdekaan yang dikorbankan terhadap persamaan kemerdekaan yang
dilakukan oleh orang lain. Prinsip dasar yang digunakan sebagai pedoman adalah
kebahagiaan yang terbesar untuk orang sebanyak-banyaknya. Sementara Jeremy
Bentham melihat suatu prinsip baru yaitu utilitarian yang menyatakan
bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sistem yang irrasional yang absolut,
tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat diukur. Bentham menyatakan bahwa
hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah kejahatan.
2.
Aliran Modern (Aliran Positif)
Aliran Modern atau aliran positif muncul pada abad ke-19
yang bertitik tolak pada aliran determinisme yang menggantikan doktrin
kebebasan berkehendak (the doctrine of free will). Manusia
dipandang tidak mempunyai kebebasan berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh watak
lingkungannya, sehingga dia tidak dapat dipersalahkan atau dipertanggungjawabkan
dan dipidana. Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan
yang subyektif. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang
bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa
sistem hukum pidana, tindak pidana sebagai perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang,
penilaian hakim yang didasarkan pada konteks hukum yang murni atau sanksi
pidana itu sendiri harus tetap dipertahankan. Hanya saja dalam menggunakan hukum
pidana, aliran ini menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis
yang terlepas dari kenyataan sosial. Marc
Ancel, salah satu tokoh aliran modern menyatakan bahwa kejahatan merupakan
masalah kemanusiaan dan masalah sosial yang tidak mudah begitu saja dimasukkan
ke dalam perumusan undang-undang.17 Ciri-ciri aliran modern adalah sebagai
berikut :
a.
Menolak definisi hukum dari kejahatan;
b.
Pidana harus sesuai dengan pelaku tindak
pidana;
c.
Doktrin determinisme;
d.
Penghapusan pidana mati;
e.
Riset empiris; dan
f.
Pidana yang tidak ditentukan secara
pasti.
3.
Aliran Neo Klasik
Aliran neo klasik yang juga berkembang pada abad ke-19
mempunyai basis yang sama
dengan aliran klasik,
yakni kepercayaan pada kebebasan berkehendak manusia. Aliran ini beranggapan
bahwa pidana yang dihasilkan olah aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat
kemanusiaan yang berkembang pada saat itu. Perbaikan dalam aliran neo klasik
ini didasarkan pada beberapa kebijakan peradilan dengan merumuskan pidana
minimum dan maksimum dan mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan (principle
of extenuating circumtances). Perbaikan selanjutnya adalah banyak
kebijakan peradilan yang berdasarkan keadaaan-keadaan obyektif. Aliran ini
mulai mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual dari pelaku tindak
pidana. Karakteristik aliran neo klasik adalah sebagai berikut :
a.
Modifikasi dari doktrin kebebasan
berkehendak, yang dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit
jiwa dan keadaan-keadaan lain;
b.
Diterima berlakunya keadaan-keadaan yang
meringankan;
c.
Modifikasi dari doktrin
pertanggungjawaban untuk mengadakan peringatan pemidanaan, dengan kemungkinan
adanya pertanggungjawaban sebagian di dalam kasus-kasus tertentu, seperti
penyakit jiwa usia dan keadaan-keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan
dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan; dan
d.
Masuknya kesaksian ahli di dalam acara
peradilan guna menentukan derajat pertanggungjawaban.
Menentukan
tujuan pemidanaan menjadi persoalan yang cukup dilematis, terutama dalam menentukan
apakah pemidanaan ditujukan untuk melakukan pembalasan atas tindak pidana yang
terjadi atau merupakan tujuan yang layak dari proses pidana adalah pencegahan
tingkah laku yang anti sosial. Pemidanaan
mempunyai beberapa tujuan yang bisa diklasifikasikan berdasarkan teori-teori
tentang pemidanaan. Teori tentang tujuan pemidanaan yang berkisar pada
perbedaan hakekat ide dasar tentang pemidanaan dapat dilihat dari beberapa
pandangan.
Herbert
L. Packer menyatakan bahwa ada dua pandangan konseptual yang masingmasing
mempunyai implikasi
moral yang berbeda satu sama lain, yakni pandangan retributif (retributive
view) dan pandangan utilitarian (utilitarian view).
Pandangan
retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang
yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan
hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung
jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang
(backward-looking). Pandangan untilitarian melihat pemidanaan
dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau
keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak,
pemidanaan dimaksudkan
untuk memperbaiki sikap
atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan
untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa.
Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus
mempunyai sifat pencegahan (detterence).
Sementara Muladi membagi teori-teori tentang tujuan
pemidanaan menjadi 3 kelompok
yakni : a) Teori
absolut (retributif); b) Teori teleologis; dan c) Teori retributifteleologis. Teori absolut memandang bahwa pemidanaan
merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini
mengedepankan bahwa sanksi dalam hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena
orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus
ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga
sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan. Teori teleologis (tujuan)
memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku
tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat
menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan,maka bukan bertujuan untuk
pemuasan absolut atas
keadilan. Teori retributif-teleologis memandang bahwa tujuan pemidanaan
bersifat plural, karena menggabungkan antara prinsip-prinsip teleologis
(tujuan) dan retributif sebagai satu kesatuan. Teori ini bercorak ganda, dimana
pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai
suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yang salah. Sedangkan karakter
teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik moral tersebut ialah suatu
reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari. Pandangan teori
ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi terhadap teori
pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution yang
bersifat utilitarian dimana pencegahan dan sekaligus rehabilitasi yang
kesemuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.
Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan adalah :
a) Pencegahan umum dan khusus; b) Perlindungan masyarakat; c) Memelihara
solidaritas masyarakat dan d) Pengimbalan/pengimbangan. Mengenai tujuan, maka
yang merupakan titik berat sifatnya kasusistis.
Dalam
Rancangan KUHP Nasional, telah diatur tentang
tujuan penjatuhan pidana, yaitu:
1. Mencegah
dilakukannya tindak pidana, menegakan norma hukum demi pengayoman masyrakat.
2. Mengadakan
koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikannya orang yang baik
dan berguna.
3. Menyelesaikan
konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,memulihkan keseimbangan dan
mendatangkan rasa damai dalam masyrakat.
4. Membebaskan
rasa bersalah pada terpidana (Pasal 5).
Dalam
literatur bahasa inggris tujuan pidana bisa disebutkan sebagai berikut:
a)
Reformation
berarti
memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi
masyrakat.
b)
Restraint
maksudnya mengasingkan pelanggaran dari masyarakat,dengan tersingkirnya
pelanggaran hukum dari masyrakat berarti masyrakat itu akan menjadi lebih aman.
c)
Restribution
adalah pembalasan terhadap pelanggaran karena telah melakukan kejahatan.
d)
Deterrence,adalah
menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang
lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut untuk melakukan
kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Dengan
demikian, untuk menjawab apakah hukum pidana mati telah sesuai dengan tujuan
dari pada hukum itu harus memenuhi tiga unsur hukum yaitu keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan. Keadilam merupakan salah satu tujuan dari hukum dan
paling banyak di bicarakan sepanjang perjalanan filsafat hukum, tapi hal itu
belum lengkap, karena tidak hanya keadilan, tapi juga kepastian hukum dan
kemanfaatan.
Dalam bukunya Nicomachean Ethics, Aristoteles juga telah menulis secara panjang
lebar mengenai keadilan. Ia menyatakan bahwa keadilan ialah kebajikan yang
berkaitan dengan hubungan antar manusia. Aristoteles menyatakan bahwa kata adil
mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang
sebanding, yaitu yang semestinya atau seharusnya. Disini ditunjukkan bahwa
seseorang bisa dikatakan tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari
bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil,
karena semua hal yang didasarkan kepada hukum dapat dianggap sebagai adil
(Tasrif, 1987: 97).
Filsafat Hukum Alam, Thomas Aquinas,
membedakan keadilan atas dua kelompok, yaitu keadilan umum justitia generalis dan keadilan khusus. Keadilan umum adalah
keadilan menurut Undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
selanjutnya, keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau atas
dasar proporsionalitas. Keadilan khusus dibedakan lagi menjadi: (1) keadilan distributif
(justitia distibutiva), (2) keadilan
komutatif (justitia commutativa) dan
(3) keadilan vindikatif (justitia
vindicativa).
Keadilan distributive adalah
keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lingkungan hukum publik
secara umum. keadilan komutatif adalah keadilan yang mempersamakan antara
prestasi (hasil yang telah dicapai atau didapat) dan kontra prestasi. Keadilan vindikatif
adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak
pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai
dengan perbuatan tindak pidana yang dilakukannya. Cicero mengatakan bahwa hukum
dan keadilan tidak ditentukan oleh pendapat manusia, tetapi oleh alam.
Unsur yang juga penting ialah unsur
kepastian hukum. Adagium yang selalu didengungkan atau dikumandangkan adalah Summun jus, summa injuria; summa lex, summa
crux. Secara harfiah (terjemahan menurut hurup) ungkapan itu berarti hukum
yang keras akan dalam melukai, kecuali keadilan dapat menolongnya. Ungkapan
tersebut menandakan kekurangpercayaan kaum positifis itu terhadap keadilan yang
sebenarnya. Sebab keadilan yang tertinggi adalah ketidak adilan yang tertinggi.
Jika keadilan saja yang dikejar, hukum positif menjadi serba tidak pasti lagi.
Akibat lebih jauh dari pada ketidak pastian hukum ini adalah ketidak pastian
bagi jumlah orang yang lebih banyak.
Unsur
yang terakhir ialah unsur kemanfaatan. Penganut Utilitariaanisme (utilisme)
berpendapat, bahwa tujuan hukum ialah untuk kemanfaatan bagi semua orang. Hanya
saja mereka menyadari pula bahwa member manfaat bagi semua orang secara adil
praktis merupakan impian semata. Untuk itu, tujuan hukum sudah dicapai apabila
kemanfaatan itu dapat dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Menurut penganut
Utilitarianisme, ukuran satu-satunya untuk mengukur suatu adil atau tidak ialah
seberapa besar dampaknya bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Kesejahteraan individual dapat saja dikorbankan
untuk manfaat yang lebih besar bagi kelompok yang lebih besar (jeneral welfare).
Menurut
teori Rawls, perlu adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan bersama. Hukum justru harus menjadi penuntun agar orang dapat
mengambil posisi dengan tetap memperhatikan kepentingan individunya. Jika
diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan harus
mengerjakan dua hal:
1.
prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya
institusi-institusi dan praktik-praktik institusional.
2.
prinsip-prisip keadilan harus membimbing kita dalam memperkembangkan
kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidak adilan dalam struktur
dasar masyarakat tertentu (priyono, 1993: 37)
Rawls tidak menginginkan masyarakat
baru (ideal) seperti disinggung diatas diwujudkan secara mendadak. Menurutnya
banyak orang memerlukan pendidikan sebelum mereka menikmati kekayaan kebudayaan
yang tersedia bagi manusia zaman sekarang. Dilain pihak keyakinannya teguh
bahwa hidup bemasyarakat harus diberikan suatu aturan baru, agar kekayaan dunia
dibagi secara merata. Situasilah yang menyebabkan pembagian itu tidak lagi
adil, sehingga dengan demikian, untuk menciptakan masyarakat yang adil perlu
diperiksa kembali lagi mana prinsip-prinsip keadilan yang dapat digunakan suatu
masyarakat yang baik. Oleh karena masyarakat belum diatur dengan baik,
orang-orang harus kembali kepada posisi asli mereka, untuk menemukan
prisip-prinsip keadilan yang benar. Posisi asli ini adalah keadaan dimana
manusia berhadapan dengan manusia lain sebagai manusia (Huijbers, 1988: 197).
Rawls mengakui bahwa kecendrungan
manusia untuk mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari
prinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan pada posisi asli itu, manusia
akan sampai pada dua prinsip keadilan yang paling mendasar sebagai berikur:
1.
Prinsip kebebasan yang sama
sebesar-besarnya. Menurut prinsip ini tiap orang mempunyai hak yang sama atas
semua keuntungan masyarakat. prinsip ini tidak menghalangi orang untuk mencari
keuntungan pribadi, asal kegiatan itu tetap menguntungkan semua pihak.
2.
Prinsip ketidaksamaan, yang menyatakan
bahwa situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian rupa
sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah (paling
tidak mendapat peluang untuk mencapai prorpek kesejahteraan, pendapatan dan
otoritas).
Secara
keseluruhan, berarti ada tiga prinsip yang dikemukakan oleh rawls, yaitu
prinsip: (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, dan (3)
persamaan yang adil atas kesempatan.
C. Hal
Apa Yang Bisa Membuat Seseorang Bisa Dipidana Mati Dalam Perundang-Undangan
Indonesia
Roeslan Saleh
dalam bukunya Stelsel Pidana Indonesia mengatakan bahwa KUHP Indonesia
membatasi kemungkinan dijatuhkannya pidana mati atas beberapa kejahatan yang
berat-berat saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-kejahatan yang berat itu
adalah :
1.
Pasal104 (makar terhadap presiden dan
wakil presiden)
2.
Pasal 111 ayat 2 (membujuk negara asing
untuk bermusuhan atau berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau jadi
perang)
3.
Pasal 124 ayat 3 (membantu musuh waktu
perang)
4.
Pasal 140 aY3t 3 (makar terhadap raja
atau kepala negara-negara sahabat yang direncanakan dan berakibat maut)
5.
Pasal 340 (pembunuhan berencana)
6.
Pasal 365 ayat 4 (pencurian dengan
kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
7.
Pasal 368 ayat 2 (pemerasan dengan
kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau mati)
8.
Pasal444 (pembajakan di laut, pesisirdan
sungai yang mengakibatkan kematian).
Beberapa peraturan di
luar KUHP juga mengancamkan pidana mati bagi pelanggarnya.
Peraturan-peraturan itu
antara lain:
1.
Pasal 2 Undang-Undang No.5 (PNPS) Tahun
1959 tentang wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan tentang memperberat
ancaman hukuman terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan
perlengkapan sandang pangan.
2.
Pasal 2 Undang-Undang No. 21 (Prp) Tahun
1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi.
3.
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Darurat No.
12 tahun 1951 tentang senjata api, amunisi atau sesuatu bahan peledak.
4.
Pasal13 Undang-Undang No. 11 (PNPS)
Tahun 1963 tentang pemberantasan kegiatan subversi.
5.
Pasal 23 Undang-Undang no. 31 T ahun
1964 tentang ketentuan pokok tenaga atom.
6.
Pasal 36 ayat 4 sub b Undang-Undang no.
9 tahun 1976 tentang Narkotika
7.
Undang-Undang No.4 Tahun 1976 tentang kejahatan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan.
Dalam
konsep Rancangan KUHP 1991/1992 terdapat beberapa macam tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati, antara lain:
1.
Pasal 164 tentang menentang ideologi
negara Pancasila : Barang siapa secara melawan hukum dimuka umum melakukan
perbuatan menentang ideology negera Pancasila atau Undang-Undang Dasar 1945
dengan maksud mengubahbentuk negara atau susunan pemerintahan sehingga
berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh
tahun dan paling rendah lima tahun.
2.
Pasal167 tentang makar untuk membunuh
presiden dan wakil presiden
3.
Pasal186 tentang pemberian bantuan
kepada musuh.
4.
Pasal 269 tentang terorisme :
Ayat
1 : Dipidana karena melakukan terorisme, dengan pidana penjara paling lama lima
belas tahun dan paling rendah tiga tahun, barangsiapa menggunakan kekerasan
atau ancaman kekerasan terhadap target-target sipil dengan maksud menimbulkan
suatu suasana teror atau ketakutan yang besar dan mengadakan intimidasi Pada
masyarakat, dengan tujuan akhir melakukan perubahan dalam sistem politik yang
berlaku.
Ayat
2 : Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama
dua puluh tahun dan paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut
menimbulkan bahaya bagi nyawa orang lain.
Ayat
3 : Dipidana pidana mati atau pidana penjara paling lama duapuluh tahun dan
paling rendah lima tahun, jika perbuatan terorisme tersebut menimbulkan bahaya
bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan matinya orang.
Sedangkan
tindak pidana pembunuhan berencana ditiadakan. Menurut penjelasan konsep
Rancangan KUHP 1991/1992 hal ini memberi kebebasan kepada hakim dalam rangka
mempertimbangkan ada tidaknya unsur berencana yang acapkali sulit
dibuktikan.Dengan demikian hakim akan lebih mengutamakan untuk mempertimbangkan
motif, cara, sarana atau upaya membunuh dan akibat serta dampaknya suatu
pembunuhan bagi masyarakat.
BAB. III
Kesimpulan
A.
Kesimpulan
Dalam
hukum pidana, penjatuhan hukuman pidana mati pada seseorang yang melakukan
kesalahan, bisa saja dilakukan dan seharusnya ada, bahkan tidak melanggar dari
ketentuan dari undang-undang, itu sendiri, tapi hal itu harus memuat
alasan-alasan yang menurut ketentuan hukum bisa atau memenuhi syarat bisa
dilakukannya pidana mati, yang mana pada dasarnya inti dari diberlakukannya
hukuman pada seseorang harus memiliki tiga asas yang sangat mendasar, yaitu
adanya asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Keadilan itu menurut Aristoteles
mengandung lebih dari satu arti, adil dapat berarti menurut hukum dan apa yang
sebanding, yaitu yang semstinya. Yang mana ditunjukkan bahwa seseorang
dikatakan tidak adil apa bila ia mengambil lebih dari bagian yang semestinya.
Orang yang tidak menghiraukan hukum juga tidak adil, karena semua hal yang
didasarkan pada hukum adalah adil. Selain itu, ia juga membedakan antara
keadilan menurut hukum dan keadilan menurut alam, serta perbedaan antara
keadilan absrak dan kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan
kekerasan dalam penerapannya terhadap individu. Kepatutan dan menguji kekerasan
tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.
Dalam
kepastian hukum, dalam setiap keputusan keadilan juga ikut berbicara dalam setiap
keputusan orang yang memberikan keadilan. teruta jika adanya keragu-raguan, ada
perselisihan, hal itu muncul. Dalam hal ini maka akan timbul suatu pertanyaan,
apakah setiap keputusan yang diambil oleh seorang pemberi atau yang menjalankan
keadilan itu apakah akan dirasakan sebagai suatu yang adil. Maka
ditimbang-timbangnya , dinilai-nilai, dan kemudian ia memilih, hal ini
mengandung suatu tindakan mengadili yang didasarkan moral. asas yang ketiga
adalah kemanfaatan, yang mana tujuan hukum itu adalah manfaat yang sebesarnya
untuk orang sebanyak-banyaknya, dengan adanya suatu hukuman diharapkan
timbulnya suatu keadaan yang seimbang, aman, damai serta menghilangkan komflik
yang ada dalam masyarakat, yang membawa pada suatu kepuasan batin yang dapat
dirasakan orang banyak.
B.
Saran
Saya
berharap agar didalam penerapan hukum, khususnya hukum pidan dapat diterapkan
sesuai dengan seharusnya atau selayaknya. Agar dimata masyarakat banyak adanya
suatu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Karena pada dasarnya hukum itu ada
bersamaan dengan adanya manusia, sebab hukum dan manusia merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
tanpa manusia hukum itu tidak dapat dikatakan sebagai hukum. Dalam hukum
manusia adalah sebagai aktor kreatif, manusia membangun hukum, menjadi taat
terhadap hukum, namun tidak terbelenggu oleh hukum.
Daftar
pustaka
1. Andi Hamzah dan
A. Sumangelipu, Pidana Mati di
Indonesia di Masa lain, Kini
dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
2.
ELSAM, Pemidanaan,Pidana, dan Tindak pidana dalam RKUHP,Jakarta 2005
3.
Darmodiharjo, Darji, Prof. SH, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Belum ada tanggapan untuk "Pidana Mati: Pelanggaran HAM Kah ?"
Post a Comment
Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^