Pengertian
Hak Atas Kekayaan
Intelektual atau HAKI adalah istilah padanan dari istilah asing yang dalam kepustakaan
asing dikenal sebagai Intellectual Property Rights atau IPR. Istilah
asing tadi acapkali diperpendek menjadi Intellectual Property saja atau
IP. Di Indonesia, untuk pertama kali istilah padanan dalam bahasa Indonesia
tersebut digunakan secara resmi dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang
Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).
Sebagaimana ditunjukkan oleh
namanya, HAKI secara esensial berbicara mengenai hak atas kekayaan yang lahir
dari kemampuan intelektual manusia. Tiga unsur penting dalam deskripsi tadi
adalah : kemampuan intelektual manusia, kekayaan, dan hak. Unsur manusia
menempati urutan pertama, karena manusialah yang menjadi sumbernya. Manusia
pula yang dengan kemampuan intelektualnya melahirkan karya-karya di berbagai
bidang yang kemudian dikenal sebagai jenis-jenis HAKI. Mulai dari karya ilmu
pengetahuan dan karya sastra lainnya yang dikelompokkan sebagai karya tulis,
karya seni, teknologi, tandatanda pembeda diantara produk yang sejenis, desain
produk industri, dan rangkaian elektronika terpadu, adalah karya yang
dihasilkan dengan atau oleh kemampuan intelektual manusia.
Konsepsi dasar mengenai HAKI tampaknya tidak pula jauh
dari pemahaman di sekitar unsur-unsur penting yang kemudian membentuk
pengertian HAKI itu sendiri. Sherwood mengemukakan dua elemen penting.
Pertama, karya intelektual sebagai kekayaan. Kedua, pengakuan, penghormatan dan
perlindungan terhadap kekayaan tersebut. Dalam pendapatnya HAKI ada hanya kalau
keberadaan karya-karya intelektual diikuti dengan perlindungan hukum terhadapnya.
“If there is no protection, there is no intellectual property”, dan “Where
protection does not exist or is weak, products of the mind exist nonetheless”
Konsepsi dasar HAKI
dapat dikenali dari beberapa aspek. Pertama, aspek moral. Karya
intelektual yang oleh Sherwood ataupun oleh Chisum dan Jacobs dikatakan
sebagai “product of the mind” atau oleh WIPO disebut “creation
of the mind”, adalah karya manusia yang lahir dengan curahan tenaga, karsa,
cipta, waktu, dan beaya, dan oleh sebab itu merupakan “humankind’s most
valuable assets”. Karya intelektual tersebut karenanya patut diakui, harus
dihormati dan perlu dilindungi. Hak serupa itu tidak dapat direnggut begitu
saja dari manusia yang “melahirkannya”. Pemahaman aspek ini mengukuhkan
keberadaan hak moral (moral rights) sebagai hak yang dimiliki pencipta
atau penemu sesuatu karya intelektual untuk menyatakan bahwa dia-lah pencipta
atau penemunya, dan karenanya berhak atas pelekatan namanya untuk selamanya
pada karya yang bersangkutan. Hak untuk diakui dan untuk menyatakan sebagai
pencipta atau penemu suatu karya intelektual ini, oleh
Edenborough dikatakan
sebagai prinsip yang mendasari hak moral dan disebut sebagai “le droit de
paternité” atau “the right of paternity”. Kedua, aspek sosial.
Sebagai karya yang lahir dari kemampuan intelektual manusia, karyakarya intelektual
tersebut memperkaya khasanah kehidupan dan peradaban manusia, serta
meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
tertinggi derajadnya. Karya intelektual yang dihasilkan, akan merangsang
lahirnya karya intelektual berikutnya, baik karena daya pembangkit inspirasi
yang ditimbulkannya maupun karena adanya upaya pengembangan lebih lanjut. Ketiga,
aspek ekonomi. Adanya hak terhadap manfaat ekonomi atas karya intelektual
sebagai kekayaan yang dapat digunakan dan dinikmati oleh manusia yang dengan
kemampuan intelektualnya telah melahirkan atau mewujudkannya. Hak ini sering
dikenal sebagai hak ekonomi (economic rights).
Bersama-sama hak moral, hak ekonomi ini
sering dipandang sebagai esensi isi hak yang terkandung dalam HAKI. Dalam
ungkapan WIPO:
“Those rights do not apply to the
physical object in which the creation may be embodied but instead to the
intellectual creation as such”.
Keempat, aspek hukum. Hak
atas kekayaan tersebut memerlukan kepastian status pemilikan atau
penguasaannya, disamping perlindungan hukum sehingga dapat dipertahankan secara
efektif dan dimanfaatkan dengan aman. Dengan adanya kepastian status pemilikan
dan perlindungan hukum, terwujud pula iklim yang lebih kondusif bagi tumbuhnya
dan berkembangnya karya-karya intelektual yang baru.
Linkup dan Jenis HAKI
Kedua istilah ini mengacu pada obyek yang sama. Dalam
“lingkup”, yang diacu adalah substansi yang diatur dan dilindungi. Sedangkan
dalam “jenis”, yang diacu adalah penamaan kelompok bagi obyek yang dilindungi.
Seringkali kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian dalam pembicaraan
mengenai HAKI. Dalam Pasal 2 ayat (viii) Konvensi Pembentukan WIPO 1967,
disebutkan:
“intellectual property shall include the
rights relating to;
- literary, artistic and scientific
works,
- performances of performing artists,
phonograms, and broadcasts,
- inventions in all fields of human
endeavor,
- scientific discoveries,
- industrial designs,
- trademarks, service marks, and
commercial names and designations,
- protection against unfair competition,
and all other rights resulting
from intellectual activity in the industrial,
scientific, literary or artistic fields”.
Dalam “Intellectual
Property Reading Material”, WIPO menyebut hak terhadap kekayaan intelektual
di bidang “literary, artistic and scientific works” sebagai Copyright
atau Hak Cipta. Sedangkan hak para pelaku pertunjukan atas penampilannya
dalam pertunjukan, phonogram dan penyiaran, disebut sebagai Hak-hak yang
Berkaitan Dengan Hak Cipta atau Neighboring rights. Selebihnya, kecuali
“scientific discoveries”, hak-hak atas karya-karya lainnya yang disebut dalam
Pasal 2 ayat (viii) tersebut diatas dimasukkan dalam kelompok industrial
property.
Dalam berbagai
kepustakaan mengenai HAKI, biasanya hanya ditampilkan Hak Cipta, Paten, Merek,
dan Desain Produk Industri, sewaktu menjelaskan jenis-jenis HAKI. Jenis-jenis
tersebut dahulu lazim dianggap pokok dalam setiap bahasan mengenai HAKI, Ada
yang menambahnya dengan Rahasia Dagang, tetapi ada pula yang menambahnya dengan
“protection of unfair competition” sebagai salah satu jenis HAKI. Di masa lalu
belum terdapat kesepakatan mengenai dua jenis yang terakhir tersebut di
kalangan para ahli. Beberapa diantaranya berpendapat bahwa Pengendalian Praktek
Persaingan yang Tidak Jujur bukanlah karya intelektual. Sebaliknya, Rahasia
Dagang atau Trade Secrets atau Confidential Informations atau
Undisclosed Information dinilai lebih tepat dinyatakan sebagai jenis
HAKI. Dari segi substansi, apa yang diperlakukan sebagai Rahasia Dagang adalah
karya intelektual pula. Pertimbangan ekonomi dan teknis-lah yang mendorong
pemiliknya mengambil langkah yang dianggapnya lebih menguntungkan dengan
menyimpannya sendiri dan menjadikannya “rahasia”. Permintaan perlindungan hukum
seperti lazimnya HAKI tidak ditempuh, karena syarat dan proses pendaftaran yang
harus diikuti dapat menyebabkan karya intelektual yang diciptakan atau ditemukannya
menjadi terbuka atau terungkap, dan karenanya menjadi mudah digunakan dan
dikembangkan.
Dilain pihak, pendapat
yang menyetujui dimasukkannya Pengendalian Praktek Persaingan yang Tidak Jujur
cenderung menyandarkan argumentasi mengenai keberadaannya yang secara formal
telah diakui dalam Konvensi Paris. Dari sejak perubahan Konvensi tersebut yang
pertama kali pada tahun 1900 di Brussels, bidang ini tetap tercantum sebagai
salah satu jenis HAKI. Perbedaan pandangan tersebut baru diperoleh kepastiannya
ketika Persetujuan TRIPs disahkan tahun 1994. Dalam Persetujuan TRIPs, hanya
Rahasia Dagang yang dianggap sebagai jenis HAKI sedangkan Pengendalian Praktek
Persaingan yang Tidak Jujur tidak dimasukkan. Pasal 1 ayat (2) persetujuan
tersebut menentukan:
“For the purposes of this Agreement,
the term ‘intellectual
property’ refers to all categories of
intellectual property that are
the subject of sections 1
through 7 of Part II”.
Sedangkan Bab II Persetujuan TRIPs
selengkapnya mengatur “Standards Concerning the Availability, Scope and Use
of Intellectual Property Rights”, yang terdiri dari:
1. Copyright
and Related Rights
2. Trademarks
3.
Geographical Indication
4. Industrial
Designs
5. Patents
6.
Layout-Designs (Topographies) of Integrated Circuit
7. Protection
of Undisclosed Information
8. Control of Anti-Competitive Practices
in Contractual Licences.
Secara umum, ketentuan Persetujuan TRIPs
tersebut membantu memberikan pemahaman mengenai jenis-jenis HAKI. Tidak
dimasukkannya Pengendalian Praktek Persaingan yang Tidak Jujur dalam
Persetujuan TRIPs (dan dengan demikian berbeda dari Konvensi Paris), secara
substantif memberikan kejelasan tentang hakekatnya sehingga tidak perlu
dimasukkan sebagai jenis HAKI.
Persaingan dikembalikan
pada hakekatnya yang berkenaan dengan praktek ekonomi dan perangai pasar yang
dipisahkan dari hakekat HAKI itu sendiri. Lebih dari itu, Persetujuan TRIPs
malah mengintroduksi satu jenis baru, yaitu Indikasi Geografis. Namun demikian
introduksi ini sebenarnya tidaklah sahih benar. Bilamana di test dengan
pertanyaan, dimana sebenarnya peran dan ciri intelektual manusia dalam
kelahiran sebuah Indikasi Geografis seperti layaknya HAKI lainnya, tampaknya
tidak mudah diberikan penjelasannya.
Objek Perlindungan
Jenis-jenis HAKI
memiliki obyek yang berbeda. Hak Cipta mengatur perlindungan karya-karya
intelektual di bidang sastra atau tulis (literary) termasuk ilmu pengetahuan
(science), dan seni (artistic). Pasal 1 dan Pasal 2 Konvensi Bern memberikan
jabaran obyek tadi secara lebih rinci, dan antara lain meliputi : buku, pamflet,
kuliah, pidato, kotbah dan karya tulis lainnya yang sejenis, naskah drama termasuk
drama musikal, koreografi, lagu (dengan atau tanpa musik), rekaman musik,
sinematografi, lukisan, gambar, arsitekur, patung, pahat, fotografi, peta, terjemahan,
bunga rampai, saduran, dan komputer program (yang dianggap sebagai karya di
bidang ilmu pengetahuan). Obyek tersebut tetap sama, walaupun selain
“copyright” Hak Cipta juga pernah disebut “author’s rights”.
Istilah “Hak Cipta”
yang digunakan di Indonesia, sebagaimana halnya dengan istilah “copyright” yang
kemudian lebih dikenal secara umum dalam wacana internasional, secara
konseptual menampung elemen pokok yang semula dikandung masing-masing dalam dua
istilah asing yang berbeda tadi. Dalam masalah obyek ini penting diperhatikan
bahwa pengaturan dan perlindungan yang diberikan Hak Cipta diarahkan pada perwujudan akhir atau bentuk nyata karya intelektual saja,
dan tidak pada ide atau
inspirasi yang melatarbelakanginya. Bentuk
akhir dan nyata tersebut, adalah bentuk yang dapat dilihat, didengar dan atau dibaca. Perlindungan diberikan
kepada pencipta dari tindakan pemakaian atau penggandaan/perbanyakan atau peng-“copy”-an
bentuk asli ciptaan oleh pihak lain tanpa persetujuannya. Berdekatan dengan Hak
Cipta tadi ada hak-hak para pelaku pertunjukan (performers), produser ponogram,
dan hak-hak badan penyiaran. Hak-hak tersebut dikenal sebagai Hak-hak yang
Berkaitan Dengan Hak Cipta. Hak-hak tersebut secara pokok diatur dalam Pasal 3
dan Pasal 11bis Konvensi Bern, kemudian diatur lebih rinci dalam
Konvensi Roma 196124, dan terakhir “disempurnakan” dengan dengan Persetujuan
TRIPs dan Traktat WIPO 1996 tentang Pertunjukan dan Ponogram.
Paten memiliki
obyek yang berbeda, yaitu penemuan di bidang teknologi. Sekalipun prinsipnya
terbuka untuk semua bidang teknologi, tetapi dibuka pula kemungkinan pengecualiannya.
Konvensi Paris tidak memiliki ketentuan yang jelas mengenai bidang-bidang yang
dapat dikecualikan tersebut. Pasal 1 ayat (3) Konvensi tersebut secara umum
diterima sebagai semacam kelonggaran kepada negara-negara anggotanya untuk
menentukan sendiri bidang-bidang teknologi yang dapat diberi paten dan yang
dikecualikan.
pengecualian yang
ditentukan Indonesia dalam Pasal 7 Undang-undang Paten 2001 meliputi:
1. proses atau produk yang pengumuman dan penggunaan
atau pelaksanaannya bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan;
2. tentang metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan
dan pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan hewan;
3. teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan
matematika, atau
4. semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, proses
biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses
non-biologis atau proses mikrobiologis”.
Merek mempunyai
obyek pengaturan dan perlindungan yang meliputi segala tanda yang berupa
gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari
unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam perdagangan
barang atau jasa. Karena meliputi barang dan jasa, lingkup pengaturan dan perlindungan
merek lazimnya meliputi merek dagang dan merek jasa.
HAKI dalam Hukum Perdata di Indonesia
Sekalipun berdasar doktrin,
Hukum Perdata mengenal pembidangan yang meliputi Hukum Pribadi, Hukum
Keluarga, Hukum Kekayaan (mengatur Hak Kekayaan yang absolute terinci atas Hak
Kebendaan dan Hak Atas Benda-benda immaterial dan Hak Kekayaan Relatif), dan
Hak Waris, tetapi pembidangan yang digunakan dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata yang berlaku di Indonesia meliputi Hukum tentang Orang, Hukum tentang
Kebendaan, Hukum tentang Perikatan, dan Hukum tentang Pembuktian dan Daluwarsa.
Untuk uraian dalam tulisan ini, selanjutnya diikuti pembidangan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata itu saja. Hukum tentang Benda mengatur Hak
Kebendaan, yang meliputi Hak Kebendaan yang Berujud dan Hak Kebendaan yang
tidak Berujud (immaterril). Karena pemahaman mengenai esensi HAKI berujung pada
unsur Hak, maka sebelum sampai pada pertanyaan HAKI termasuk dalam hak yang
mana dalam sistem Hukum Perdata tadi, tampaknya ada baiknya dikenali terlebih
dahulu runtutan pemahaman tentang hak berdasar teori tentang hak itu sendiri.
Menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, hak
diartikan sebagai kepentingan yang dilindungi hukum. Sedangkan kepentingan
dijelaskan sebagai tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi.
Kepentingan pada hakikatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi
oleh hukum dalam melaksanakannya. Pada saat yang sama, hukum itu sendiri juga
selalu berusaha menyesuaikan kepentingan perorangan dengan kepentingan
masyarakat, dengan mencari keseimbangan antara memberi kebebasan kepada
individu dan melindungi masyarakat terhadap kebebasan individu tadi.
Namun dalam kaitannya
dengan makna kepentingan yang terkandung dalam teori tentang Hak tadi, Prof. DR. Sudikno Mertokusumo juga mengingatkan
perlunya dipahami adanya istilah yang berdekatan, yaitu kepentingan umum.
Dengan berbagai peristilahan seperti publieke orde (ketertiban umum), goede
zeden (kebiasaan baik; ps 23 AB), openbare orde (ketertiban umum), algemeen
belang (kepentingan umum; S 1847 no 23), openbaar belang (kepentingan
umum S 1906 no 348), ataupun publiek belang van Indonesie of van enig
daartoe behorend zeflstadinggebeid (kepentingan umum Indonesia atau dari
daerah mandiri yang termasuk di dalamnya; S 1920 no 574) yang semuanya bermakna
kepentingan umum, istilah tersebut telah hadir sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda dahulu. Dimasa pasca kemerdekaan, esensi pemahaman yang sama juga hadir
dalam berbagai ungkapan seperti dalam Inpres No 9 Tahun 1973 tentang Pencabutan
Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya jo Keppres No 55
Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk
Kepentingan Umum (semuanya memuat deskripsi tentang kepentingan umum, yang
intinya sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat), Undang-undang No 7
Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (persyaratan kuaklifikasi badan usaha
yang ditujukan untuk kepentingan umum; Pasal 4 ayat 3), Undang-undang No 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Pasal 49, tentang lingkup
pengertian kepentingan umum), Undang-undang No 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
(Pasal 32 tentang lingkup pengertian kepentingan umum), Undang-undang No 5
Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (penjelasan deskripsi kepentingan
umum yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat 1), Undang-undang No 12 Tahun 1992 tentang
Perkeretaapian dan Undang-undang No 14 Tqahun 1992 tentang Penerbangan (asas
kepentingan umum dalam Pasal 2). Di semua pengaturan tersebut, istilah
kepentingan umum menurut Prof. DR. Sudikno Mertokusumo mengacu pada pengertian
yang hakikatnya sama, yaitu kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan-kepentingan
yang lain, tetapi tetap dengan memperhatikan proporsi pentingnya dan dengan
tetap menghormati kepentingankepentingan yang lain. Ujung dari telaah tentang
hak dan teori kepentingan tadi, dalam pandangan beliau, pembicaraan tentang hak
dalam sistem hukum perdata berkaitan erat dengan kajian tentang kepentingan
teori kepentingan dan kepentingan umum tadi.
Bagaimana memaknai soal
hak, kepentingan, dan kepentingan umum tersebut dalam HAKI ? Seperti dipaparkan
dalam tulisan ini, HAKI berbicara tentang hak atas kekayaan yang
timbul atau lahir atau dihasilkan oleh kemampuan intelektual manusia.
Hak yang dilekatkan padanya bahkan bersifat eksklusif, istimewa, dalam arti
hanya diberikan kepada penemu atau yang menerima hak darinya, untuk menggunakan
sendiri, membuat / mengerjakan, mengalihkan, atau memberikan hak kepada orang
lain guna ikut mengambil manfaat dari karya intelektual yang bersangkutan.
Desain tentang sifat
eksklusif tadi memang demikian, karena secara konseptual. sistem HAKI memang
dikembangkan untuk memajukan iklim yang kondusif bagi lahirnya karya-karya
intelektual yang lebih banyak, lebih baru, dan lebih maju. Secara bersamaan,
eksklusifitas tadi juga dimaksudkan sebagai cermin pengakuan, penghormatan, dan
perlindungan terhadap jerih payah dan profesionalitas seseorang penemu atau
pencipta.
Dalam konteks teori
kepentingan, maka hak yang dilekatkan pada HAKI sesungguhnya memang sekaligus
pengakuan terhadap kepentingan moral dan ekonomi orang yang menghasilkan
sesuatu karya intelektual. Namun demikian dari sisi pandang konsepsi HAKI itu
sendiri, sifat eksklusif yang melekat pada hak tadi bukanlah tanpa batas.
Proses perolehan hak yang diwujudkan melalui mekanisme pendaftaran, sedari awal
juga dilekati syarat-syarat. Begitu pula penggunaannya, juga diberi beberapa
pembatasan. Sebagai misal, terhadap penemuan teknologi yang akan dimintakan
perlindungan dalam rangka Paten, ada syarat-syarat kebaruan atau novelty
, dapat digunakan dalam proses industri, dan bersifat non-obvious. Tidak
dipenuhinya salah satu dari syarat-syarat tersebut, tidak memungkinkan
diberikannya Paten. Disamping itu, masih ada pula beberapa pengecualian dalam
penemuan yang dapat atau tidak dapat dimintakan Paten. Semua itu bukanlah
semata-mata dipikirkan sebagai pertimbangan teknis dalam konsepsi tentang
sistem Paten itu sendiri, tetapi juga kebutuhan untuk menjaga keseimbangan
dengan kepentingan umum.
Begitu pula halnya
dengan pembatasan dalam penggunaan, seperti dalam hal berlangsung
penyalahgunaan hak, atau dalam hal berlangsung bencana atau meluasnya wabah,
atau adanya kebutuhan mendesak lainnya yang harus segera diatasi, pada sistem
Paten serta jenis HAKI lainnya dilekatkan konsep pembatasan tadi. Dengan
pembatasan tersebut, di introduksi mekanisme untuk melindungi kepentingan umum.
Konsep Pelisensian Wajib dan konsep Penggunaan oleh Pemerintah, adalah konsep penyeimbangan
antara kepentingan individu pemilik / pemegang hak dengan kepentingan umum.
Dengan sisi pandang yang
sama, konsep hak dalam HAKI tidak hanya menyerap teori kepentingan dan
kepentingan umum, tetapi secara materiil menyeimbangkan hak (yang harus diakui,
dihormati dan dilindungi) dan hal-hal yang merupakan kewajiban untuk
diperhatikan dalam penggunaannya. Konsep ini sepenuhnya sama dengan konsep
hukum yang telah diterima luas, bahwa “setiap hubungan hukum yang diciptakan
oleh hukum selalu mempunyai dua segi yang isinya di satu pihak hak, sedang di
pihak lain kewajiban. Tidak ada hak tanpa kewajiban, sebaliknya tidak ada
kewajiban tanpa hak”
Hak dibedakan antara
Hak yang bersifat mutlak atau absolut, dan yang bersifat relatif atau nisbi.
Hak yang bersifat mutlak adalah hak yang dapat diberlakukan terhadap setiap
orang. Disamping kewenangan orang yang memiliki hak, ada kewajiban setiap orang
untuk menghormati hak tersebut. Pada hak seperti ini yang penting adalah adanya
kewenangan
untuk melaksanakan atau melakukan
kewenangan yang tidak terbatas hanya terhadap seseorang atau lebih dari
seseorang tertentu saja, tetapi juga terhadap setiap orang. Sedangkan hak yang
bersifat relatif atau nisbi adalah hak yang hanya memberikan kewenangan kepada
seorang atau lebih dari seorang tertentu yang kerkewajiban mewujudkan
kewenangan hak tersebut. Yang terpenting pada hak ini adalah bahwa orang dapat
mengharapkan suatu prestasi dari orang lain.
Diantara hak yang
bersifat mutlak atau absolut, yang dinilai paling mutlak adalah Hak Milik.
Benda yang dilekati hak milik (atau dahulu disebut eigendom), dapat
diapakan saja oleh pemiliknya dalam batas-batas tertentu dan dapat
dipertahankan terhadap setiap orang40. Pasal 570 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata memberikan pengertian Hak Milik sebagai “hak untuk menikmati
kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa dan berbuat bebas terhadap kebendaan
itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan
yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain,
kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinanpencabutan hak itu atau
tindakan pembatasan lainnya demi kepentingan umum berdasar atas
ketentuan undang-undang, dan atau dengan pembayaran ganti rugi”. Karena
HAKI juga ber-unsur kekayaan sebagai obyek yang utama, maka sesuai dengan
doktrin dan sistem yang dianut dalam (Kitab Undangundang) Hukum Perdata di
Indonesia, HAKI termasuk hak kebendaan yang tidak berujud dalam rangka Buku
Kedua tentang Kebendaan.
Dalam kerangka pikir
tentang pembangunan hukum perdata nasional untuk masa yang akan datang, yang
lebih penting adalah, bahwa kehadiran dan introduksi HAKI dalam sistem hukum
perdata, telah memperkaya konsep tentang hak yang selama ini dikenal dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kitab Undang-undang yang diberlakukan dengan
kekuatan Pasal Peralihan UUD sejak masa kemerdekaan, dan oleh Mahkamah Agung
sendiri telah diperlakukan sekedar sebagai “pedoman”, sesungguhnya memangkalkan
konsep tentang (hak) kebendaan pada halhal yang bersifat fisikal dan diperoleh
dari alam / natural. Kalaupun kemudian juga dikenal konsep tentang hak
kebendaan yang tidak berujud, maka hak tersebut tampaknya semata-mata
dikaitkan atau diturunkan dari hak kebendaan yang berujud, dan belum menjangkau
hak-hak atas kekayaan yang lahir dari kemampuan atau merupakan hasil kreasi intelektual
manusia. Dari segi ini, kehadiran dan introduksi HAKI memang memperkaya konsep
hukum perdata kini dan di masa yang akan datang.
Pengaturan HAKI
1. Tingkat
Nasional
Di tingkat nasional, pengaturan secara
pokok (dalam Undang-undang) dapat dikatakan telah lengkap dan memadai. Lengkap,
karena telah menjangkau ketujuh jenis HAKI. Memadai, karena dalam kaitannya
dengan kondisi dan kebutuhan nasional, dengan beberapa catatan, tingkat
pengaturan tersebut secara substantive setidaknya telah memenuhi syarat minimal
yang “dipatok” dalam perjanjian internasional yang pokok di bidang HAKI..
Peraturan Perundang-undangan di tingkat
nasional tadi, selengkapnya adalah sbb:
1). UU No. 19 Th 2002 ttg Hak Cipta
2). UU No. 14 Th 2001 ttg Paten
3). UU No. 15 Th 2001 ttg Merek
4). UU No. 30 Th 2000 ttg Rahasia Dagang
5). UU No. 31 Th 2000 ttg Desain
Industri
6). UU No. 32 Th 2000 ttg Desain Tata
letak Sirkuit Terpadu
7). UU No. 29 Th 2000 ttg Perlindungan
Varietas Tanaman
2.
Tingkat Internasional
a.
WIPO.
Adaduapuluh tiga perjanjian
internasional dalam berbagai bentuk ( Traktat / Treaty, Konvensi / Convention,
Persetujuan / Agreement, ataupun Protokol ) yang selama ini dikelola WIPO
(World Intellectual Property Organization)41, sebuah badan khusus PBB yang
dibentuk tahun 1967 dengan tugas untuk mengelola perjanjian-perjanjian internasional
yang dibuat PBB di bidang HAKI.
1. Berne-Convention for the Protection of Literary and
Artistic Works
2. Paris-Convention for the Protection of Industrial
Property
3.
Nairobi Treaty on the Protection of the
Olympic Symbol
4.
Brussels Convention Relating to the
Distribution of Programme-Carrying Signals Transmitted by Satellite
5. Patent Law Treaty
6.
Convention for the Protection of
Producers of Phonograms Against Unauthorized Duplication of their Phonograms
7.
Rome-Convention (Intl. Convention for
the Protection of Performers, Producers of Phonograms and broadcasting
Organizations)
8. Trademark-Law-Treaty
9.
Washington-Treaty (Treaty on
Intellectual Property in Respect of Integrated Circuits)
10. WIPO Copyright Treaty
11. WIPO Performances and Phonograms Treaty
12.
Budapest Treaty on the International
Recognition of the Deposit of Microorganism for the Purposes of Patent
Procedure
13.
Locarno Agreement Establishing an
International Classification for Industrial Designs
14.
Lisbon Agreement for the Protection of
Appelations of Origin and their International Registration
15.
Madrid Multilateral Convention for the
Avoidance of Double Taxation of Copyright Royalties
16.
Patent Cooperation Treaty
17. Nice Agreement Concerning the International
Classification of Goods and Services for the Purposes of the Registration of
Marks.
18.
StrasbourgAgreement Concerning the
International Patent Classification
19.
Vienna Agreement Establishing an
International Classification of the Figurative Elements of Marks UPOV
20.
Convention Establishing the WIPO
21.
Geneve Treaty on the International
Recording of Scientific Discoveries
22.
The Hague Agreement Concerning the
International Deposit of Industrial Designs
23.
Indonesia belum semuanya ikut serta dan mengesahkan
perjanjian perjanjian tadi, dan baru beberapa saja ( huruf tebal )
b. WTO
Oleh banyak pertimbangan ekonomi dan
politik, di forum World Trade Organization yang terbentuk tahun 1994 sebagai
jelmaan sebuah kuasi organisasi yang dikenal luas sebagai GATT, aspek-aspek HAKI yang terkait dengan perdagangan diangkat sebagai
satu dari sekian banyak perjanjian dalam yang dihasilkan dalam perundingan
Putaran Uruguay sejak tahun 1986.
Perjanjian di bidang HAKI tersebut
tertuang dalam persetujuan TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of
Intelectual Property Rights) Persetujuan TRIPs ditetapkan 15 April 1994,
dan merupakan salah satu dari 15 issues besar yang dirundingkan
negara-negara anggota General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dalam
putaran Uruguay yang berlangsung sejak 1986. Secara resmi, persetujuan itu
menjadi lampiran Persetujuan Pembentukan World Trade Organization (WTO), yang
sering dikatakan sebagai penjelmaan resmi GATT yang eksis sejak 1947, dan
karena berbagai sebab telah dibiarkan beroperasi bagai sebuah “kuasi
organisasi”. Persetujuan yang mengatur aspek-aspek dagang daripada HAKI
(termasuk pula perdagangan barang-barang tiruan) tersebut tersusun dalam tujuh BAB dan terurai dalam 73 Pasal:
a.
BAB I berisikan Ketentuan Umum dan
Prinsip-prinsip Dasar
b.
BAB II berisikan
ketentuan standar mengenai HAKI (dan dapat dikatakan menjadi bagian terpenting
dalam persetujuan)
c.
BAB III berisikan ketentuan yang
berkaitan dengan penegakan hak dan aturan HAKI
d.
BAB IV berisikan ketentuan mengenai cara
perolehan dan memelihara HAKI
e.
BAB V berisikan ketentuan mengenai
pencegahan dan penyelesaian sengketa di bidang HAKI
f.
BAB VI berisikan ketentuan peralihan,
dan
g.
BAB VII berisikan ketentuan mengenai
aspek kelembagaan dan penutup.
c.
UNESCO
Perjanjian internasional yang dikelola
badan khusus PBB untuk masalah sosial dan pendidikan ini adalah UCC (
Universal Copyright Convention ). Dalam perkembangannya, banyak faktor
telah memberi pengaruh sehingga UCC ini praktis “tidak digunakan” lagi.
Pembangunan Sistem Haki Dan Perkembangannya Di
Indonesia
1. Keputusan
Presiden Nomor 34 Tahun 1986
Pada tanggal 30 Juli 1986, dengan
Keputusan Presiden Nomor 34 , Presiden membentuk sebuah Tim Kerja yang bertugas
“menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan perundang-undangan
mengenai Hak Cipta dan Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan serta
menyelesaikan penyusunan perundang-undangan mengenai Hak Paten”. Tim Kerja
telah menyelesaikan tugas yang diberikan tersebut, dan berturutturut menyempurnakan
dan membuat Undang-undang Hak Cipta, Undangundang Merek, dan Undang-undang
Paten. Salah satu hal yang penting dari pelaksanaan tugas Tim Kerja ini adalah
membangun cara pandang baru, yaitu menangani Hak Cipta, Merek dan Paten sebagai
jenis-jenis yang merupakan bagian atau sub sistem dalam sistem HAKI, dan bahwa
HAKI memiliki spektrum yang luas dalam kehidupan nasional. Bukan saja berkaitan
erat dengan kehidupan ekonomi termasuk dalam perdagangan internasional, tetapi
juga penting dalam pembangunan SDM yang berkualitas, khususnya dalam perwujudan
etos tentang produktivitas dan profesionalisme.
Pembangunan sistem HAKI
juga bertalian erat dengan aspek sosial-budaya khususnya “value sistem” tentang
baik-buruk, pantas atau tidak pantas, dan kebutuhan penumbuhan sikap pengakuan
dan penghormatan terhadap jerih payah orang
berikut hasil-hasilnya. Pembangunan
sistem HAKI bahkan memiliki kaitan dengan politik serta hubungan antar Negara. Tingkatan
pembangunan dan hasil-hasil yang dapat dicapai saat itu, makin menuntut
ditumbuhkannya sistem yang dengan efektif dapat memberikan perlindungan
terhadap karya-karya intelektual yang kian intens digunakan dalam segala gerak
kehidupan. Lebih dari sekedar perlindungan, kehadiran sistem HAKI yang baik
juga diharapkan dapat merangsang terciptanya iklim penciptaan atau penemuan
karya-karya intelektual yang baru, yang lebih maju, dan lebih banyak, serta
mendorong investasi dan alih teknologi. Kerangka fikir itulah yang sesungguhnya
memberi latar belakang bagi pembentukan Tim Kerja tadi, dan sekaligus memberi
landasan bagi pembangunan sistem HAKI nasional.
Kebutuhan untuk dengan
efektif mengatasi banyak permasalahan khususnya pelanggaran Hak Cipta untuk
karya-karya rekaman musik, film, buku, dan belakangan piranti lunak komputer
yang mulai digunakan secara luas, serta pelanggaran hak atas Merek, memang
mulai mewarnai kehidupan saat itu. Harus dicatat pula, pelanggaran tersebut
bukan hanya menimbulkan kekhawatiran terhadap besarnya kerugian ekonomi dari
tindak pelanggaran hak, tetapi juga dampaknya terhadap kinerja perdagangan
internasional Indonesia.
Dalam dunia yang
semakin terbuka, dan ketika perdagangan antar bangsa makin meluas melampaui
batas-batas territorial negara, kebutuhan adanya sistem yang efektif guna melindungi
produk dari tindakan peniruan atau pemalsuan, atau penggandaan secara melawan
hukum, makin dituntut secara luas. Kegagalan suatu negara dalam mewujudkan
kewajiban untuk membangun sistem yang efektif, dilihat negara lain sebagai
alasan untuk mempertimbangkan secara reprosikal berbagai tindakan balasan, yang
antara lain berupa
pembatasann volume atau kuota impor dari
negara yang bersangkutan, pencabutan skema tariff khusus dan pengenaan tarif
bea masuk yang normal atau kadangkala penutupan pasar untuk produk tertentu,
atau tindakan balasan lainnya. Indonesia yang saat-saat itu mulai memerlukan
pasar dunia yang aman bagi pendapatan ekspor, menjadi sangat berkepentingan
untuk membangun sistem HAKI yang komprehensif dan efektif. Baik untuk
diperhatikan, bahwa kerangka fikir seperti itu telah muncul sebelum akhirnya
lahir banyak aturan baru dalam perdagangan internasional dilahirkan oleh GATT
atau WTO pada atau sejak tahun 1994.
Dengan titik tolak
pemikiran seperti itu pula, selain menyelesaikan tiga Undang-undang yang
ditugaskan kepadanya, Tim Kerja yang dikenal sebagai Tim Keppres 34, bekerja
lebih lanjut dalam terus menyempurnakan Undangundang yang telah ada, dan
sekaligus menyiapkan rancangan pengaturan untuk jenis-jenis HAKI lainnya.
2. Putaran
Uruguay dan Kebutuhan Penyesuaian
Disekitar pertengahan
dasawarsa 1980-an, wacana hukum di Indonesia mulai ramai dengan perdebatan
mengenai HAKI. Kehadirannya yang terkait erat dengan perekonomian, khususnya dalam
perdagangan internasional, menunjukkan bahwa HAKI memiliki dua sisi yang sama
pentingnya yaitu hukum dan ekonomi. Dalam kehidupan antar negara, persoalan
yang semula dikira sekedar sebagai perselisihan hukum di bidang HAKI, kemudian
terlihat
kaitannya erat dengan pertikaian dagang
yang sarat dengan nuansa politik.
Praktek perdagangan
internasional mulai terbiasa dengan penggunaan ancaman sanksi dagang yang
bahkan diterapkan secara unilateral. Sebagai bagian masyarakat global,
Indonesia juga mengalami ancaman pengenaan sanksi dagang tersebut. Bentuknya
beraneka ragam, mulai dari penundaan atau pembatalan kemudahan berupa
preferensi dagang yang diberikan dalam rangka Sistem Preferensi Umum atau Generalized
System of Preferences, pengenaan tarif tambahan, hingga
pengurangan kuota ekspor atau bahkan penutupan pasar bagi produk ekspor
tertentu. Bermula dari masalah yang secara tradisional berkisar disekitar
penghapusan atau penurunan secara bertahap
tarif bea masuk, peniadaan kebijakan yang dinilai menjadi hambatan terhadap
kelancaran perdagangan internasional atau hambatan non-tarif dan masalah akses
ke pasar suatu Negara atau market access, sejak awal dasawarsa 1980-an
perdagangan internasional mulai dirasuki persoalan HAKI.
Perkembangan masalah
dibidang perdagangan memang menunjukkan bahwa semuanya belumlah berakhir dengan
terselesaikannya soal akses ke pasar dan lain-lainnya tadi. Setelah beredar di pasar
suatu negara, timbul masalah baru yaitu keamanan produk yang di perdagangkan
dari kemungkinan pemalsuan dan tindakan persaingan yang tidak jujur. Kebutuhan
perlindungan hukum terhadap produk yang di perdagangkan pada akhirnya menjadi
penting. Dari segi ini, kemudian timbul kebutuhan untuk mewujudkan perlindungan
HAKI yang efektif. Kecenderungan meningkatnya peran HAKI tidak terlepas dari perkembangan
dibidang-bidang tertentu yang kemudian memberi pengaruh besar terhadap
perdagangan internasional. Arus transformasi modal dan teknologi yang semula
terpusat pada industri militer kedalam industri sipil, kemajuan pesat dibidang
teknologi informasi dan transportasi, serta tumbuhnya negara-negara berkembang
sebagai kekuatan ekonomi baru, juga member pengaruh besar terhadap perkembangan
perdagangan internasional. Seiring dengan perkembangan tersebut, perlindungan
terhadap produk yang telah berada di pasar dari kemungkinan pemalsuan atau
tindakan persaingan yang tidak jujur, memperoleh perhatian yang semakin besar.
Belum ada tanggapan untuk "Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)"
Post a Comment
Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^