Terlepas
dari penglihatan kita selama ini, ternyata ranah pendidikan kita sudah sejak
lama telah tercemar oleh orang-orang yang hanya memanfaatkan jabatannya untuk
meraut keuntungan yang sebesar-besarnya, selalu memanfaatkan celah-celah yang
ada untuk melaksanakan peraktek-peraktek kotor. Ironisnya yang berbuat seperti
itu adalah yang diberikan amanat dan tugas suci oleh rakyat sebagai seorang pecerah
yang dipercaya dalam mendidik, menciptakan dan membentuk karakter anak-anak
didiknya sebagai penerus bangsa, sebagai harapan bangsa, ataupun sebagai penentu
nasib bangsa yang akan datang.
Tapi hal itu mungkin bisa terlaksana atau hanya
sebagai impian belaka yang hanya memuat harapan kosong, melihat kondisi
sekarang yang seperti itu, semangkin lama semangkin keluar dari jalur yang
seharusnya. Sebagai pakta, anak didik dijadikan ladang yang siap digarap kapan
saja, mereka dengan seenaknya memanfaatkan momen-momen tertentu untuk
memperoleh gaji tambahan, yang mungkin kiranya gaji selama ini yang didapat
dari pemerintah itu kurang cukup, sehingga hal seperti itu bisa terjadi, tapi
yang lebih mengherankan lagi hal ini tidak diimbangi dengan peran dan tugasnya
sebagai tenaga pengajar yang propesional, sering terjadi belakangan ini
kasus-kasus guru yang sering absen, datang kesekolah dengan semaunya saja,
bahkan ada kasus yang terjadi di Papua, yang ditemukan oleh para pekerja sosial
Wahana Visi Indonesia (WVI) yang memantau proses pembelajaran disejumlah
sekolah dibeberapa kabupaten Pegunungan Tengah, banyak sekolah tidak aktif
lebih dari dua tahun. Guru baru datang pada saat masa ujian tiba, untuk ujian
nasional banyak anak didik yang diikutkan ujian melalui sekolah diluar daerah.
Hal
serupa juga terjadi di Kabupaten jaya wijaya, para guru lebih senang tinggal di
Wamena, alasannya beragam, mulai dari lokasi sekolah yang jauh dari kota,
terbatasnya transportasi umum menuju ketempat mengajar, mengurus berbagai
administrasi sekolah, hingga sibuk mencari kerja sampingan. Kerja sampinga itu
dilakukan oleh guru lantaran biaya hidup yang tinggi, sehingga banyak guru-guru
memilih untuk mengambil pinjaman ke bank, akibatnya sebagian besar gaji mereka
digunakan untuk membayar hutang (Kompas, Juni 2011). Ketidak senambungan itulah
yang membuat para anak didik yang tidak jarang sering pindah sekolah dan enggan
bersekolah disitu, dan memilih untuk bersekolah diluar daerah, meskipun harus
menempuh perjalanan panjang, walaupun harus menempuh berjalan kaki berkilometer
jauhnya, sehingga ada juga yang lebih memilih tinggal di asrama-asrama sekolah.
Hal ini juga didukung oleh ketidak pahaman dan ketidak pedulian peran orang tua
dalam melakukan pengawasan sejauh mana peran sekolah dalam melakukan perannya
sebagai mana mestinya, pihak orang terlalu mempercyakan hal itu kepada sekolah,
sehingga tindakan-tindakan dan peraktik-peraktik kotor itu dengan mudah
dilakukan.
Memang
tidak semua para pendidik, khususnya guru berbuat seperti itu, tapi hal itu telah
banyak bukti-bukti yang mendukung pembenaran pernyataan seperti itu,
bukti-bukti konkrit yang bisa dilihat dan disaksikan secara langsung oleh kita
semua. Tapi hal itu hanya sedikit yang terungkap, hanya beberapa persen saja dari
keseluruhan kasus-kasus yang ada, selebihnya hilang begitu saja, tanpa ada
tindak lanjut. Hal ini sangat bertentangan sekali dengan Undang-undang Dasar
1945, BAB XIII Tentang Pendidikan dan Kebudayaan, didalam Pasal 31 ayat (3)
diungkapkan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan yang nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
undang-undang”. Hal ini juga telah dimuat dalam Undang-undang No 23 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Berkenaan juga
dengan masalah itu, cara dalam mendapatkan gelar dari seorang guru juga merupakan
faktor utama yang menyebabkan hal seperti itu bisa terjadi, banyak sekali kecurangan-kecurangan
yang dilakukan, mulai dari ijazah palsu, gelar palsu dan cara mendapat gelar dengan
cara yang instan, ada uang gelar bisa didapatkan dengan sangat mudah. Gelar
yang dijadikan aksesoris gaya hidup yang layak disembah-sembah. Sekedar punya
banyak gelar, tapi kosong akan kepabilitas intelektualnya, Gelar yang
berderet-deret tapi tidak satupun diperolehnya dengan benar, ini menunjukkan
model manusia bergelar yang kehilangan nalar, nalar yang dimatikan oleh nafsu
kekuasaan atau gelar. gelar palsu sudah mengalahkan, bahkan mematikan kearifan
dan melupakan tugasnya sebagai pembawa amanat dari pendidikan itu sendiri, Sehingga
tidak jarang terjadi penyelewengan dana atau anggaran untuk pendidikan.
Contohnya saja dalam hal dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
dikeluarkan oleh pemerintah, dengan tujuan menunjang peningkatan kapasitas
pendidikan yang ada sekarang ini, dan juga membantu masyarakar miskin, terutama
yang berada dalam usia didik yang ingin bersekolah, agar impian mereka untuk
bersekolah dapat terrealisasikan.
Namun hal itu
jauh dari harapan, dimanfaatkan untuk kepentingan lain atau dengan kata lain
dialih fungsikan yang seharusnya untuk kepentingan dan menunjang keperluan
siswa, dialihkan untuk renovasi sekolah, dan hal itu dianggap benar oleh pihak
sekolah, bahkan ada juga yang menaikkan biaya SPP atau biaya bulanan sekolah
sebelum dana BOS itu direalisasikan kepada orang tua siswa, misalkan biaya SPP dinaikkan
perbulannya menjadi Rp 45.000, sedangkan dana bantuan dari pemerintah sebesar
Rp 35.000, hal itu menjadi percuma saja, belum lagi siswa diberatkan dengan
diharuskan membeli buku pelajaran yang harganya mencekik, sehingga kerap
terjadi siswa yang putus sekolah gara-gara tidak bisa membayar buku yang
dibelinya, yang sering dialami oleh siswa dan siswi dari keluaga yang tidak
mampu dari segi ekonominya, mereka berharap dengan dana BOS yang dikeluarkan
oleh pemerintah dapat membantunya, harapan itu hanya sia-sia belaka. Sekarang peluang
dan kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi golongan masyarakat yang
mempunyai ekonomi minim bahkan tidak ada lagi, dengan begitu ketatnya
persaingan dan adanya peraktek-peraktek kotor dalam ranah pendidikan, dan
bahkan anggaran pendidkan yang diprioritaskan pemerintah sebesar dua puluh
persen dari pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional
menjadi hal yang sia-sia, hal itu hanya menguntungkan sebagian orang yang tidak
bertanggungjawab dan tidak berprikemanusiaan.
Hal yang
serupa juga terjadi, tapi dengan dalih yang berbeda. Anak-anak dari keluarga
yang tidak mampu masih terkendala dalam pendaftaran siswa baru. Permasalahan
yang memberatkan itu utamanya masih adanya pungutan liar seperti uang
pendaftaran dan uang pembangunan sekolah. Masyarakat marginal dibingingkan
dengan persoalan-persoalan teknis pendaftaran yang seringkali tidak berpihak
dengan kondisi rill mereka. Misalnya, banyak siswa miskin tidak bisa
menunjukkan ijazah, karena ijazah mereka ditahan sekolah. Ini disebabkan karena
belum melunasi biaya bulanan sekolah, ujian sekolah, hingga biaya perpisahan.
Menanggapi hal
seperti yang diungkap diatas, baru-baru ini ada kabar yang menarik tentang
adanya kenaikan dana BOS untuk Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama
(SMP). Disitu ditegaskan oleh Kementrian Pendidikan nasional bahwa anggaran BOS
jenjang SD dan SMP pada tahun 2011 sebesar 30 persen. Tambahan dana sebesar 7,8
triliun rupiah tersebut diharapkan bisa menutupi 100 persen dana BOS. Mentri
Pendidikan Muhammad Nuh dalam rapat kerja dengan komisi X DPR di Jakarta
mengatakan, “saat ini BOS hanya mencukupi sekitar 70 persen dari kebutuhan
sekolah. Dengan kenaikan anggaran ini, kebutuhan operasional sekolah seluruhnya
tertutupi dana BOS sehingga sekolah negri tidak punya alasan lagi untuk
melakukan pungutan kepada orang tua murid”(Kompas, Juni 2011). Yang menjadi
pertanyaan sekarang apakah hal itu bisa terlaksana dengan baik, sedangkan masih
banyak peraktek-peraktek yang salah dalam distribusi dana BOS tersebut.
Perlu adanya
tindakan yang tegas dari pemerintah, dengan mencari kemudian menuntaskan segala
sesuatu yang menjadi akar permasalahan itu, dan perlu adanya evaluasi dalam
pelaksanaan otonomi bidang pendidikan, serta perlu adanya reformasi mendasar
secara besar-besaran. Guru yang menduduki status pengajar yang bersangkutan
harus benar-benar orang yang berkompeten, sebab hal itu akan berdampak pada
kualitas pendidikan. Bila perlu pemerintah mencanangkan pendidikan gratis untuk
SD, SMP, SMA dan bahkan tingkat Perguruan Tinggi, kemudian dengan diimbangi
dengan gaji pegawai yang tinggi. Hal yang perlu lagi yaitu tindakan yang tegas
bila terjadi pelanggaran dalam sistem pendidikan tersebut. Mungkin dengan
berbuat seperti itu kemelut dari permasalahan pendidikan di Indonesia ini akan
teratasi.
Selain hal
diatas, hal yang perlu diterapkan dan harus ada dalam ranah pendidikan ialah
pendidikan pancasila. Pendidikan pancasila haruslah ditanamkan mulai sejak
dini, mengingat pancasila merupakan ideologi bangsa. Nilai-nilai yang
terkandung didalam kelima sila pancasila itu benar-benar dimengerti, dihayati
dan diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Mengingat anak-anak merupakan penentu nasib bangsa yang akan datang, walaupun
sekarang peraktik-peraktik kotor dalam ranah pendidikan masih menumpuk, paling
tidak mulailah dari sekarang untuk kita merubahnya agar generasi mudanya sesuai
dengan jati diri bangsanya.
Belum ada tanggapan untuk "Menyikapi Peraktik Kotor dalam Ranah Pendidikan"
Post a Comment
Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^