BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM FUNGSI PENGAWASAN




Eksistensi kehadiran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dimulai sejak di disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. BPD dalam undang-undang ini adalah lembaga parlemen desa: Badan Perwakilan Desa (BPD). Fungsi BPD yaitu mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa.

Konstruksi pemerintahan desa tersebut mirif dengan konstruksi pemerintahan daerah karenan tugas tugas kepala daeah dan perangkat daerah mirip dengan tugas kepala desa dan perangkat desa. pengisiannya pun sama yaitu dengan cara pemilihan. Begitu juga tugas dari DPRD juga mirip dengan tugas BPD, kecuali ada tambahan  yaitu mengayomi adat istiadat. Dalam peraturan pelaksanaan, BPD juga diberi kewenangan untuk memakzulkan kepala desa seperti DPRD kepada kepala daerah. (Hanif Nurcholis, 2011:194)
Lebih lanjut Hanif Nurcholis, berpendapat bahwa model kelembagaan desa ala UU No. 22 Tahun 1999 yang didesain dengan mengikuti struktur kelembagaan pemerintahan modern dan rasional ternyata menimbulkan goncangan yang keras pada masyarakat desa. Warga desa yang rata-rata berpendidikan rendah dan berpikir sederhana dipaksa menyelenggarakan pemerintahan demokratis yang rasional dan modern. Mereka memunyai kebebasan partisipatif yang sangat luas. Kapasitas lembaga desa tidak siap mengakomodasi sistem baru. Kepala desa dan perangkat desa yang selama ini dapat menyelenggarakan pemerintahan secara otoriter tiba-tiba harus berbagi kekuasaan dengan BPD.
Keterampilan politik yang kurang, bahkan cendrung tidak ada, tiba-tiba diserahi partisipasi politik yang lebih luas kepad BPD, membuat pemerintahan desa pada saat itu tidak setabil. Kepala desa merasa terganggu dengan pengawasan oleh BPD, yang pada akhirnya antara pemerintah desa dan BPD muncul kegaduhan, mosi tidak percaya dari masing-masing pihak, menuntun pada opsi saling menjatuhkan satu sama lain, yang berdampak langsung pada penyelenggaraan pemerintahan. Kondisi semacam ini, membuat desa susah berkembang dan maju, jauh dari kata demokratis.
Kemudian, karena kehadiran undang-undang tersebut dinilai tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat pada masa itu, pada akhirnya pemerintah mengganti dengan undang-undang yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada prinsipnya hampir sama dengan undang-undang sebelumnya. Salah satu perbedaan terletak pada nama BPD, BPD yang sebelum kepanjangan dari Badan Perwakilan Desa, berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa. BPD dalam ketentuan ini memunyai fungsi regulasi (membuat peraturan desa), menyalurkan aspirasi masyarakat dan tidak ad lagi fungsi pengayoman masyarakat adat.
Dengan perubahan ini, banyak pihak berpendapat bahwa undang-undang ini merupakan suatu kemunduran bagi pemerintahan desa, belum lagi posisi sekretaris desa yang diisi oleh PNS. Ini merupakan bentuk lain interpensi pemeritah terhadap pemerintahan desa, yang pada prinsipnya mengarah pada undang-undang pada masa orde lama, yaitu UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Saat ini dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Desa menuju pada penyelenggaraan pemerintahan yang mandiri dalam yuridis administratif. Pemerintah desa melaksanakan asas transparansi dan akuntabelitas dalam bentuk laporan pertanggungjawaban yang disampaikan kepada bupati melalu camat. Kemudian pemerintah desa juga harus menyampaikan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada BPD setiap akhir tahun anggaran. Tak hanya itu lebih lanjut dalam pasal 27 huruf (d) bahwa pemerintah desa memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran.
Hal ini juga sejalan dengan fungsi dari BPD. Adapun fungsi dari BPD tercantum dalam pasal 55 yaitu:
Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi:
  1. membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
  2. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan
  3. melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Ketentuan pasal 55 huruf c yang mengatakan bahwa BPD memunyai fungsi melakukan pengawasan kinerja kepala Desa inilah poin penting yang akan dibahas disini. Sebagaimana yang diungkapkan diatas, bahwa pemerintah desa menyampaikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan kepada BPD, ini bentuk tranparansi dan akuntabilitasnya pemerintah desa dalam penyelenggara pemerintahan desa.
Lebih lanjut dalam PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu dalam pasal 51, dikatakan bahwa:
  1. Kepala Desa menyampaikan laporan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c setiap akhir tahun anggaran kepada Badan Permusyawaratan Desa secara tertulis paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran.
  2. Laporan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pelaksanaan peraturan Desa.
  3. Laporan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Badan Permusyawaratan Desa dalam melaksanakan fungsi pengawasan kinerja kepala Desa.
Dari uraian diatas sudah jelas bahwa BPD memunyai peran yang strategis dalam menentukan penyelenggaraan pemerintahan desa yang transparan, akuntabel dan bertanggungjawab, sehingga terciptalah suatu pemerintahan desa yang demokratis bersih dari praktek KKN.
Berkenaan dengan fungsi pengawasan tersebut, BPD mumunyai peran yang penting dalam menciptakan pemerintahan yang baik. BPD diposisikan sebagai penghubung antara kepentingan masyakat yang mesti diperjuangkan dengan kepentingan pemerintahan desa yang harus diawasi. Keberhasilan normatif tentunya tak terlepas dari sejauhmana kapasitas dan kapabilitas dari masing-masing individu dari anggota BPD tersebut.
Sehubungan dengan Pengawasan, terdapat beberapa pengertian dan konsep terkait pengawasan. Adapun pengertian pengawasan menurut Terry dalam Salindeho (1995:25) Pengawasan berarti mendeterminasikan apa yang dilaksanakan, maksudnya mengevaluasi prestasi kerja dan apabila perlu, menerapkan tindakan-tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan sesuai dengan rencana-rencana. Jadi pengawasan dapat dianggap sebagai aktivitas untuk menemukan dan mengoreksi penyimpangan-penyimpangan penting dalam hasil yang dicapai dari aktivitas-aktivitas yang direncanakan.
Kemudian Fayol dalam Harahap (2001:10) mengemukakan bahwa pengawasan adalah upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut. Juga dimaksudkan untuk mengetahui kelemahan dan kesalahan agar dihindari kejadiannya di kemudian hari.
Pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan menjamin bahwa tujuan dan sasaran serta tugas-tugas organisasi akan dan telah terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi, dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan yang berlaku. (LAN RI, 1997:159)
Lebih luas lagi pengertian pengawasan yang dikemukakan Situmorang dan Jusuf (1993:19), menurutnya Dikalangan ahli atau sarjana telah disamakan pengertian controlling ini dengan pengawasan. Jadi pengawasan adalah termasuk pengendalian. Pengendalian berasal dari kata “kendali”, sehingga pengendalian mengandung arti mengarahkan, memperbaiki kegiatan yang salah arah dan meluruskannya menuju arah yang benar. Kenyataan dalam praktek sehari-hari bahwa isitilah controlling itu sama dengan istilah pengawasan dan istilah pengawasan inipun telah mengandung pengertian luas, yakni tidak hanya sifat melihat sesuatu dengan seksama dan melaporkan hasil kegiatan mengawasi tadi tetapi juga mengandung pengendalian dalam arti menggerakkan, memperbaiki dan meluruskannya sehingga mencapai tujuan yang sesuai dengan apa yang direncanakan.
Dari beberapa pengertian pengawasan diatas, bahwa pengawasan pada prinsipnya adalah suatu tindakan atau upaya preventif oleh pimpinan atau yang memunyai kewenangan untuk itu yang dilakukan dengan cara meneliti, mengukur, mengarahkan, menggerakkan, mengevaluasi, memperbaiki dan meluruskan agar sesuai dengan tujuan yang direncanakan dan/atau ingin dicapai.[1]
            Pengawasan pada dasarnya tak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai. Adapun tujuan dari pengawasan diantaranya ialah:
  1. Untuk mengetahui apakah sesuatu kegiatan berjalan sesuai dengan rencana yang digariskan.
  2. Untuk mengetahui apakah segala sesuatu dilaksanakan dengan instruksi serta asas-asas yang telah ditentukan.
  3. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan, kelemahan-kelemahan dalam bekerja.
  4. Untuk mengetahui apakah kegiatan berjalan efisien.
  5. Untuk mencari jalan keluar, bila ternyata dijumpai kesulitan-kesulitan dan kegagalan ke arah perbaikan.[2]
Dengan demikian, sehubungan dengan fungsi pengawasan yang dimiliki oleh BPD, BPD dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa oleh pemerintah desa, dimaksudkan sebagai upaya pencegahan, agar pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan, berjalan sesuai dengan yang direncanakan, sesuai dengan asas-asas dan bila ditemui kesulitan dapat diupayakan untuk perbaikan.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Winardi. Ia mengatakan bahwa pengawasan terdiri dari suatu proses yang dibentuk oleh tiga macam langkah yang bersifat universal yakni:
  1. Mengukur hasil pekerjaan.
  2. Membandingkan hasil pekerjaan dengan standar dan memastikan perbedaan (apabila ada perbedaan).
  3. Mengoreksi penyimpangan yang tidak dikehendaki melalui tindakan perbaikan.
Menurut Winardi dengan cara yang agak berbeda, dapat dikatakan bahwa pengawasan terdiri dari tindakan-tindakan, pertama keterangan tentang apa yang sedang dilaksanakan, kedua membandingkan hasil-hasil dengan harapan-harapan yang menyebabkan timbulnya tindakan, dan ketiga menyetujui hasil-hasil atau menolak hasil-hasil dalam kasus mana perlu ditambahkan penambahan tindakan tindakan perbaikan.[3]
Dari apa yang dikemukakan oleh Winardi terkait pengertian dan konsep pengawasan, pengawasan pada prinsifnya ada kaitannya dengan perencanaan. Pengawasan adalah tindak lanjut dari perencanaan. Sematang-matangnya perencanaan tanpa pengawasan cendrung mengarah pada tindakan-tindakan penyimpangan. Begitu juga pengawasan tanpa perencanaan adalah suatu yang tidak mungkin dilakukan, karena tidak ada pedoman untuk melakukan pengawasan tersebut. Sehingga bila di kaitkan dalam penyelenggaraan penyelenggaraan pemerintahan desa oleh pemerintah desa, peran pengawasan oleh BPD dilakukan sejak Perencanaan dimulai, atau dengan kata lain BPD menjalankan fungsi pengawasannya saat Pemerintah desa merumuskan program kerjanya, yaitu dalam perumusan Rencana Program Kerja Jangka Menengah Desa (RPJM Des) dan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Des). Dengan begitu segala bentuk penyimpangan-penyimpangan dapat dicegah.
Agar suatu pengawasan dapat terlaksana dengan baik, tentunya perlu ada suatu teknik atau metode yang baik dan jitu. Secara umum ada dua teknik atau metode pengawasan, yaitu metode konvensional dan metode partisipatif.
Biasanya, metode konvensional dalam pelaksanaannya berdasarkan terori/Petunjuk pihak/pihak pembuat kebijakan (Pemerintah/Lembaga fungsional yang menguasai teori pengawasan), dilakukan oleh lembaga-lembaga fungsional, pelaksanaannya terjadwal (Pertengahan/akhir) dan indikator Pengawasan berdasarkan Term Of Referece (TOR) yang dibuat perencanaan/pengambil kebijakan.
Selanjutnya dalam metode partisipatif, pelaksanaannya berdasarkan kriteria hasil rumusan bersama, dilakukan oleh seluruh yang terlibat didalam organisasi sesuai kesepakatan. Bersifat dinamis, tidak baku dan dilaksanakan sesuai kontek dengan kondisi yang ada. Kegiatannya mulai dari proses perencanaan sampai saat pelaksanaan dan akhir, dan indikator pengawasannya berdasarkan pengalaman dan dilaksanakan secara sistematis, terdokumentasi dan berkelanjutan.[4]
Selanjutnya apabila kita membicarakan kinerja, pada prinsipnya ini berkaitan dengan suatu pencapaian dari suatu tujuan dalam sebuah organisasi, yang dalam hal ini adalah pemerintahan desa. Bernaden dan Russel, sebagaimana dikutip oleh Gomes, Faustino Cardoso (2000). Kinerja diartikan sebagai : 11) ”Catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi suatu pekerjaan tertentu atau kegiatan karyawan selama suatu periode waktu tertentu.”[5] Kemudian Menurut Simamora (2003:45) kinerja adalah ukuran keberhasilan organisasi dalam mencapai misinya. Sedangkan Shadily (1992:425), mengatakan kinerja atau performance adalah berdaya guna prestasi atau hasil. Wahyudi Kumorotomo (1996) memberikan batasan pada konsep kinerja organisasi publik setidaknya berkaitan erat dengan efisiensi, efektifitas, keadilan dan daya tanggap.
Hal ini berarti bahwa performance adalah sebuah tindakan yang dapat dilihat, diamati serta dimungkinkan untuk mencapai hal-hal yang diharapkan (tujuan). Kinerja juga dapat dikatakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya yang diperoleh selama periode waktu tertentu.

Untuk mengetahui ukuran kinerja organisasi maka dilakukan penilaian kinerja. Penilaian kinerja adalah proses mengevaluasi seberapa baik pegawai melakukan pekerjaan mereka jika dibandingkan dengan standar dan kemudian mengkomunikasikan informasi tersebut kepada pegawai.[6]
Sesuai dengan pengertian diatas, terkait kinerja kepala desa dan hubungannya dengan fungsi pengawasan oleh BPD, maka suatu pencapaian oleh kepala desa dalam kurun waktu tertentu tergantung bagaimana BPD dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Artinya kinerja ditentukan oleh kemampuan dan usaha kepala desa  dalam mencapai tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah pemerintahan desa dan BPD dalam fungsi pengawasan terhadap proses pecapaian dari kinerja kepala desa yang dimulai dari perencanaan program kerja.


[4] http://tarbiyahpujangga.blogspot.co.id/, Loc.cit
[5] http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/pengertian-kinerja-definisi-teori-pengukuran-dan-penilaian/. Diakses pada tanggal 25 maret 2016
[6] http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-kinerja-pegawai-menurut.html. Diakses pada tanggal 25 maret 2016

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DALAM FUNGSI PENGAWASAN"

  1. sangat penting di untuk pengawasan di desa

    ReplyDelete
  2. wow mantap artikelnya. sangat membantu pengetahuan saya, terima kasih ya mas atas artikelnya.

    ReplyDelete

Please comment wisely and in accordance with the topic of discussion ... thanks.... ^ _ ^